Makalah
ASPEK-ASPEK
HUKUM PERJANJIAN OUTSOURCHING
DALAM
AKTIVITAS BISNIS DI INDONESIA
DI
S
U
S
U
N
OLEH:
FAKULTAS
HUKUM
2014
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI ...... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB II. PEMBAHASAN.................................................................................. 2
2.1
Makna dan
Hakikat Penyediaan Tenaga Kerja dengan Sistem Outsourcing 2
2.2
Pelaksanaan Outsourcing Dalam
Perspektif Hukum Ketenagakerjaan 3
2.3
Perlindungan
Buruh.................................................................... 6
2.4
Penyerahan
Sebagian Pekerjaan (Outsourcing)....................... 6
2.5
Peluang
Dan Tantangan.............................................................. 9
2.6
Kelebihan
Dan Kekurangan..................................................... 12
2.7
Kelebihan dan
Kekurangan Outsourcing bagi perusahaan...... 13
BAB III. PENUTUP......................................................................................... 15
3.1
Kesimpulan................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah
tepat pada waktunya yang berjudul “Aspek-aspek
Hukum Perjanjian Outsourching dalam Aktivitas Bisnis di Indonesia”
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, kami
sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita. Amin.
Penyusun,
Yuliana
BAB
I
PENDAHULUAN
Kecenderungan
beberapa perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan
sistem outsourcing pada saat ini, umumnya dilatarbelakangi oleh
strategi perusahaan untuk melakukan efesiensi biaya produksi (cost of
production). Dengan menggunakan sistem outsourcing ini, pihak
perusahaan berusaha untuk menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya
manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Berdasarkan
hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya bersumber dari
ketentuan yang terdapat dalam pasal 64 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis.
Di dalam
praktiknya, ketentuan tentang penyediaan jasa pekerja yang diatur
dalam peraturan di atas akhirnya memunculkan pula istilahoutsourcing, (dalam
hal ini maksudnya menggunakan sumber daya manusia dari pihak di luar
perusahaan).
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Makna
dan Hakikat Penyediaan Tenaga Kerja dengan Sistem Outsourcing
Outsourcing
terbagi atas dua suku kata: out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan
kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa
Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya
dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya
non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.
Outsourcing atau
alih daya merupakan pemindahan pekerjaan (operasi) dari satu perusahaan ke
perusahaan lain yang dilakukan biasanya untuk memperkecil biaya produksi atau
untuk memusatkan perhatian kepada hal utama dari perusahaan tersebut. Sistem
outsourcing memang untuk sebagian besar orang yang memiliki keahlian atau skill
terbatas dianggap sangat merugikan. Namun untuk orang yang memiliki keahlian
khusus dan langka menjadi karyawan outsourcing dianggap lebih menguntungkan
Dalam
sistem outsourcing terdapat dua jenis perjanjian, yaitu:
1. Perjanjian
kerja, antara A dengan perusahaan X.
2. Perjanjian
penempatan A, antara perusahaan X dan perusahaan Y.
Beberapa
praktisi hukum ketenagakerjaan sebenarnya banyak yang mengkritik
sistem outsourcing ini, karena secara legal formal perusahaan pemberi
kerja tidak bertanggung jawab secara langsung terhadap pemenuhan hak-hak
karyawan yang bersangkutan.
Oleh karena itu,
dalam rangka melindungi karyawan yang ditempatkan tersebut ditentukan beberapa
syarat untuk meminimalisasi dampak negatif dari
sistem outsourcing ini.
Syarat-syarat
tersebut wajib dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa pekerja maupun perusahaan
pemberi kerja, agar buruh/pekerja ynag bersangkutan tetap terlindungi
hak-haknya dan tidak mengalami eksploitasi secara berlebihan.
Syarat-syarat yang wajib dipenuhi adalah
sebagai berikut:
1.
Perusahaan penyedia
jasa pekerja merupakan bentuk usaha berbadan hukum dan memiliki izin dari
instansi yang berwenang.
2.
Pekerja/karyawan yang
ditempatkan tidak boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan pokok yang
berhubungan langsung dengan proses produksi.
3.
Adanya hubungan kerja
yang jelas antara pekerj/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja,
sehingga pekerja yang ditempatkan tersebut mendapatkan perlindungan kerja yang
optimal sesuai standar minimum ketenagakerjaan.
4.
Hubungan kerja harus
dituangkan dalam perjanjian secara tertulis (dua perjanjian sebagaimana yang
disebutkan di atas), yang memuat seluruh hak dan kewajiban para pihak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2.2
Pelaksanaan Outsourcing Dalam
Perspektif Hukum Ketenagakerjaan
Perkembangan
ekonomi global dan kemajuan teknologi yang dermikian cepat membawa dampak
timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua lini.
Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan
dengan tuntutan pasar yang memerlukan respon yang cepat dan fleksibel dalam
meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan suatu perubahan
struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali manajemen,
dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien,
dan produktif. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau kemudian muncul
kecenderungan outsourcing, yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa
bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain
yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerja.
Praktik
sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan
pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak
(perjanjian kerja waktu tertentu), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun
ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak
adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain. Dengan demikian memang benar
kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktik outsourcingakan
menyengsarakan pekerja/buruh dan kaburnya hubungan industrial.
Hal tersebut
dapat terjadi karena sebelum adanya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam
melaksanakan outsourcing. Kalaupun ada, barangkali Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. KEP-100/MEN/VI/2004 tentang ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, yang hanya merupakan salah satu aspek
dari outsourcing.
Walaupun diakui
bahwa pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan belum dapat menjawab semua
permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks. Namun,
setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap perkerja/buruh
terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan
sosial dan perlindungan kerja lainnya dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan
apabila terjadi permasalahan.
Praktik outsourcing dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut dapat
dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut:
1.
Perjanjian pemborongan
pekerjaan dibuat secara tertulis.
2.
Bagian pekerjaan yang
dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi
syarat-syarat:
a. Apabila
bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan
utama.
b. Bagian
pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat proses produksi
secara langsung, dan
c. Dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
Semua
persyaratan di atas, bersifat kumulatif sehingga apabila salah-satu syarat
tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat do-outsourcingkan.
Perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan
karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam
memenuhi kewajiban terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagaimana mestinya sehingga
pekerja/buruh menjadi terlantar. Oleh karena itu, berbadan hukum menjadi sangat
penting agar tidak bisa menghindar dari tanggung jawab. Dalam hal perusahaan
penerima pekerjaan, demi hukum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan.
Perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan penerima
pekerja sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi
kerja. Hal ini berguna agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh
baik di perusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerja karena pada
hakikatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada
lagi syarat kerja, upah dan perlindungan kerja yang lebih rendah.
Hubungan kerja
yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja/buruh dengan
perusahaan penerima pekerjaan dan dituangkan dalam perjanjian kerja secara
tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya perjanjian kerja waktu
tertentu/kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materiil
sebagaimana diatur dalam pasal 59 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Dengan demikian, hubungan kerja
pada outsourcing tidak selalu dalam bentuk perjanjian kerja waktu
tertentu/kontrak, apalagi akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan
bahwa outsourcing selalu dan/atau sama dengan perjanjian kerja waktu
tertentu.
Dalam penyediaan
jasa pekerja/buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh mempekerjakan
pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan
dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan dengan produksi. Kegiatan
dimaksud antara lain usaha pelayanan kebersihan, usaha penyedia makanan bagi
pekerja/buruh.
2.3
Perlindungan
Buruh
Pengaturan outsourcing bila
dilihat dari segi hukum ketenagakerjaan adalah untuk memberikan kepastian hukum
pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu bersamaan memberikan
perlindungan kepada pekerja/buruh. Dengan demikian, adanya anggapan bahwa
hubungan kerja pada outsourcingselalu menggunakan perjanjian
kerja/kontrak, sehingga mengaburkan hubungan industrial adalah tidak benar.
Pelaksanaan hubungan kerja padaoutsourcing telah diatur secara jelas dalam
pasal 65 ayat (6) dan (7) dan pasal 66 ayat (2) dan (4) Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Memang pada keadaan tertentu sangat sulit
untuk mendefenisikan atau menentukan jenis pekerjaan yang dikategorikan
penunjang.
Untuk mengurangi
timbulnya kerancuan, dapat pula dilakukan dengan membuat dan menetapkan skema
proses produksi suatu barang maupun jasa sehingga dapat ditentukan pekerjaan
pokok/utama; itu diluar itu berarti pekerjaan penunjang.
2.4
Penyerahan
Sebagian Pekerjaan (Outsourcing)
Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memberikan peluang kepada perusahaan
untuk dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan di dalam perusahaan
kepada perusahaan lainnya melalui:
1. Pemborongan
pekerjaan atau
2. Perusahaan
penyedia jasa pekerja (PPJP)
Dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kedua bentuk kegiatan
dimaksud dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat dimaksud antara lain ditentukannya dengan wajib dilaksanakan
melalui perjanjian ynag dibuat secara tertulis. Adapun perusahaan penerima
pekerjaan tersebut harus berbentuk badan hukum. Untuk perusahaan penyedia jasa
pekerja, dipersyaratkan pula selain harus berbadan hukum, juga terdaftar pada
instansi ketenagakerjaan.
1. Pemborongan
Pekerjaan
Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui
pemborongan pekerjaan. Perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dilakukan dengan
perusahaan yang berbadan hukum, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Dilakukan
secara terpisah dari kegiatan utama.
b. Dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
c. Merupakan
kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan.
d. Tidak
menghambat proses produksi secara langsung.
Hal yang perlu
diperhatikan dalam kegiatan adalah adanya ketentuan bahwa perlindungan dan
syarat-syarat kerja bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan penerima kerja,
sekurang-kurang sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Penyedia
Jasa
Pengusaha yang
memasok penyediaan tenaga kerja kepada perusahaan pemberi kerja untuk melakukan
pekerjaan dibawah perintah langsung dari perusahaan pemberi kerja, disebut
perusahaan penyedia jaasa pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja wajib
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi ketenagakerjaan. Apabila tidak
dipenuhi ketentuan sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja, demi hukum status
hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja, beralih
menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh
pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan proyek atau kegiatan yang berhubungan
langsung dengan proses produksi, kecuali unutk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Perusahaan
penyedia jasa pekerja untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi dipersyaratkan:
a. Adanya
hubungan kerja antara pekerrja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja.
b. Perjanjian
kerja dapat berupa perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu
tak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah
pihak.
c. Perlindungan
upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
d. Perjanjian
antara perusahaan pengguna jasa pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja,
dibuat secara tertulis sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang N0. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Perusahaan
penyedia jasa pekerja yang memperoleh pekerjaan, dari perusahaan pemberi
pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang
sekurang-kurangnya memuat:
a. Jenis
pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa
pekerja.
b. Penegasan
bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang terjadi adalah antara
perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja yang dipekerjakan perusahaan
penyedia jasa pekerja, sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja.
c. Penegasan
bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja bersedia menerima pekerja dari
perusahaan penyedia jasa pekerja sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang
terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian
perusahaan penyedia jasa pekerja.
2.5
Peluang
Dan Tantangan
1.
Peluang
Dengan cara
menyerahkan sebagian pekerjaannya kepada pihak ketiga, berdasarkan ketentuan
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana
diutarakan diatas, dalam menjalankan usahanya memberi peluang kepada para
pengusaha untuk melakukan efisiensi dan dapat terhindar dari resiko/ekonomis
seperti perselisihan/PHK, jaminan sosial, dan kesejahteraan lainnya.
Dengan
menyerahkan sebagaian pekerjaan di perusahaan kepada pihak ketiga, melalui
suatu hubungan hukum antara dua perusahaan yang masing-masing berbadan hukum,
bagi perusahaan yang dapat melaksanakan peluang itu secara baik dan benar, akan
dapat tertolong dari resiko perburuhan, seperti perselisihan/PHK yang tidak
jarang menyita waktu, tenaga, dan dana yang tidak sedikit. Untuk itu pengusaha
perlu mengetahui dan mengatasi segala bentuk penyimpangan yang dapat terjadi,
agar dalam pelaksanaannya tidak sampai mengganggu kelancaran perusahaan atau
merugikan perusahaan.
2.
Tantangan
Tantangan
pertama dalam pelaksanaan penyerahan sebagai pekerjaan kepada pihak
ketiga ini adalah menentukan pekerjaan apa saja yang merupakan pekerjaan pokok,
yang tidak dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Untuk itu perlu disusun suatu
daftar pekerjaan yang menjadi pekerjaan utama dan yang bersifat terus menerus
di dalam perusahaan. Apabila ini sulit, dilakukan hal yang sebaliknya, yaitu
dengan membut daftar pekerjaan yang bukan pokok dan/ atau dilakukan tidak terus
menerus di dalam perusahaan. Memang untuk pertama kali mungkin hal ini tidak
mudah dikerjakan, tetapi apabila cara ini dapat diselesaikan dengan baik,
kedepan akan sangat membantu perusahaan dalam melakukan penyerahan pekerjan
kepada pihak ketiga.
Dalam praktiknya
sulit menentukan mana yang merupakan pekerjaan pokok, atau kegiatan ynag
berhubungan langsung dengan proses produksi, dan mana yang bukan. Unutk itu
disusunlah daftar pekerjaan utama dan yang bersifat terus menerus, atau yang
sebaliknya.
Untuk membantu
kita dalam membuat daftar dimaksud, Undang-Undang No. 13 Tahun 3003 tentang
Ketenagakerjaan telah memberi contoh tentang kegitaan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, antara lain:
a. Usaha
pelayanan kebersihan.
b. Usaha
penyediaan makanan bagi pekerja.
c. Usaha
tenaga pengaman.
d. Usaha
jasa penunjang dipertambangan dan perminyakan, serta
e. Usaha
penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Untuk lebih
mengamankan posisi perusahaan, pekerjaan itu diserahkan kepada koperasi
pekerja/buruh yang telah berbadan hukum. Dengan melakukan langkah ini
perusahaan akan mendapat perlindungan ganda dari para pekerja.
Pertama, dengan
penyerahan sebagian pekerjaan kepada koperasi pekerja/buruh, mereka tentunya
mendukung langkah yang dilakukan pengusaha, sehingga perusahaan aman
melaksanakannya. Kedua, mereka ikut menikmati kebijakan perusahaan
tersebut dengan memperoleh kesejahteraan melalui koperasi pekerja/buruh.
Hal berikutnya
yang harus diperhatikan dalam penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan
lain, adalah dilakukan melalui suatu perjanjian tertulis. Khususnya dalam
membuat perjanjian dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, ditentukan
sekurang-kurangnya perjanjian tersebut memuat:
a. Jenis
pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa.
b. Penegasan
bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang terjadi adalah antara
perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan
penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja
serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja
c. Penegasan
bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja, bersedia menerima pekerja dari
perusahaan penyedia jasa pekerja sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang
terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal ini terjadi penggantian
perusahaan penyedia jasa pekerja.
Perjanjian
dimaksud, didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
sesuai dengan wilayah berlakunya perjanjian dimaksud.
Resiko yang akan dihadapi oleh
perusahaan apabila ketentuan sebagai hukum, tidak dipenuhinya syarat-syarat
yang ditentukan oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan/atau
tidak dibuatnya perjanjian secara tertulis, demi hukum status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan
kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan, yang dapat berupa
waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu, sesuai dengan perjanjian yang
telah dibuat sebelumnya dengan pekerja/buruh.
Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 menetapkan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi harus syarat sebagai berikut:
a. Hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja.
b. Perjanjian
kerja yang berlaku antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja
adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak.
c. Perlindungan
upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihannya menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
d. Perjanjian
antara perusahaan pengguna jasa pekerja dengan perusahaan peyedia jasa pekerja
dibuat secara tertulis dan wajib memuat ketentuan dalam Undang-undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Akibat hukum
dari pelanggaran ketentuan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu adalah
apabila:
a. Dibuat
tidak dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin, berubah menjadi perjanjian kerja
waktu tak tertentu sejak adanya hubungan kerja.
b. Dibuat
tidak memenuhi ketentuan, perjanjian kerja waktu tertentu berubah menjadi
perjanjian kerja waktu tak tertentu sejak adanya hubungan kerja.
c. Dilakukan
untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan,
berubah menjadi perjanjian kerja waktu tak tertentu sejak dilakukan
penyimpangan.
d. Dalam
hal pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu tidak melalui tenggang waktu 30
hari setelah berakhirmya perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu dan tidak
diperjanjikan lain, berubah menjadi perjanjian kerja waktu tak tertentu sejak
tidak terpenuhinya syarat perjanjian kerja waktu tertentu tersebut.
2.6
Kelebihan
Dan Kekurangan
Kelebihan
Menjadi Karyawan Outsourcing:
Memudahkan calon
karyawan fresh graduate untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan sistem outsourcing
mereka tidak perlu bersusah payah memasukkan lamaran pekerjaan ke banyak
perusahaan karena justru perusahaan outsourcing yang akan menyalurkan mereka.
Mendapat
pelatihan memadai dari perusahaan penyedia jasa karyawan outsourcing. Sebelum
ditempatkan di perusahaan para pencari kerja tentunya harus mendapat pelatihan
sehingga pengalaman tentang dunia kerja menjadi bertambah.
Memudahkan
pencari kerja yang memiliki keahlian khusus memilih perusahaan yang akan
mempekerjakan mereka nanti sekaligus menentukan gaji yang akan mereka dapatkan
karena para pencari kerja dengan keahlian khusus seperti ini tentunya jarang
sehingga menjadi rebutan perusahaan-perusahaan besar.
Kekurangan Menjadi Karyawan
Outsourcing:
Masa kerja yang
tidak jelas karena sistem kontrak. Sebagian besar karyawan outsourcing khawatir
jika ada PHK maka tidak mudah mendapatkan pekerjaan kembali.
Tidak ada
jenjang karir. Karena sistem outsourcing memberlakukan kontrak
mengakibatkan karyawan susah memegang jabatan tinggi.
Tidak mendapat tunjangan. Sebagian
besar perusahaan outsourcing tidak memberikan tunjangan seperti THR, asuransi
dan jaminan hari tua untuk karyawan outsourcing.
Pemotongan
penghasilan karyawan outsourcing yang tidak jelas. Rata-rata gaji yang dipotong
untuk karyawan outsourcing berkisar dia angka 30 persen dari seharusnya yang
mereka terima seandainya menjadi karyawan tetap di perusahaan mereka saat ini
bekerja.
2.7
Kelebihan dan
Kekurangan Outsourcing bagi perusahaan
Kelebihan
ü Mempercepat
proses adaptasi terhadap perubahan bisnis
ü Manajemen
SI yang lebih baik, SI dikelola oleh pihak luar yang telah berpengalaman dalam
bidangnya
ü Dapat
mengeksploitasi skill dan kepandaian yang berasal dari perusahaan lain dalam
mengembangkan produk yang diinginkan
ü Bagian
dari modenisasi dunia usaha
ü Meningkatkan
daya saing perusahaan dengan efisiensi penggunaan fasilitas dan teknologi
ü Memfasilitasi downsizing,
sehingga perusahaan tak perlu memikirkan pengurangan pegawai
Kekurangan
ü Ketidakpastian
status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga kerja
ü Perbedaan
perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal
dengan karyawan outsource
ü Pengawasan
dan kontrol langsung sulit dilakukan
ü Informasi
merupakan aset berharga bagi perusahaan, jika salah pengelolaan bisa berbalik
menjadi bumeran
ü Loss
of flexibility (kontrak diatas 3 tahun), perubahan teknologi baru tidak
bisa diadaptasi dengan cepat oleh perusahaan
ü Adanya hidden
cost (biaya pencarian vendor, biaya transisi, dan biaya post outsourcing)
ü Timbulnya
ketergantungan terhadap perusahaan penyedia jasaoutsourcing
BAB
III
PENUTUP
3.2
Kesimpulan
Berdasarkan
hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya bersumber dari
ketentuan yang terdapat dalam pasal 64 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis.
Praktik outsourcing dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut dapat
dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut:
1. Perjanjian
pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis.
2. Bagian
pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan,
diharuskan memenuhi syarat-syarat:
a. Apabila
bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan
utama.
b. Bagian
pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat proses produksi
secara langsung, dan
c.
Dilakukan dengan
perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Sutedi, Adrian. 2009, Hukum
Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta.
0 Response to "ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN OUTSOURCHING DALAM AKTIVITAS BISNIS DI INDONESIA"
Posting Komentar