BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Piagam
Jakarta adalah naskah pembukaan (preambule) UUD 1945 yang disiapkan untuk
konstitusi Negara Indonesia merdeka. Ketika naskah pembukaan itu sudah
disepakati, maka naskah-naskah rincian pasal-pasal dalam UUD 1945 masih menjadi
persoalan. Dalam rapat tanggal 13 Juli 1945, Wachid Hasjim mengusulkan, agar
Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga
draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama Negara ialah agama Islam”, dengan
menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Kata
Wachid Hasjim: “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya
pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran
agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.”
Berbagai
macam pemahaman tentang hadirnya sebuah Piagam Jakarta yang telah dihasilkan
oleh panitia Sembilan dalam musyawarahnya yang cukup rumit yang telah menjadi
wakil akan seluruh rakyak Indonesia disaat itu. Dalam detik-detik yang
menentukan menjelang pengesahan Piagam Jakarta, Ir. Soekarno selaku Ketua
Panitia Sembilan dengan gigih meyakinkan seluruh anggota sidang BPUPKI untuk
menerima rumusan Piagam Jakarta sebagai gentlemen agreement Bangsa Indonesia.
Setalah
disyahkannya Piagam Jakarta maka timbul pula beberapa sikap dari kelompok
Katolik dan Protestan yang menyebabkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta
dihapuskan dan diganti dengan kata baru. Maka Piagam Jakarta sampai saat ini
perlu dipahami dengan pemahaman yang benar karena dari rumusan itulah muncul
Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
B .RUMUSAN MASALAH
Untuk
memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
Sejarah Piagam Jakarta?
2.
Bagaimana Isi Piagam Jakarta?
3.
Bagaimana sikap Kristen terhadap Piagam Jakarta?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui apa sejarah piagam Jakarta.
2.
Untuk mengetahui bagaimana bentuk isi dari piagam Jakarta
3.
Untuk mengetahui bagaimana sikap Kristen terhadap piagam jakarta
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH
PIAGAM JAKARTA
Suatu
fakta yang tak dapat dibantah oleh siapapun yakni andaikata Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam
sidangnyadi tahun 1945 mereka tidak menghasilkan konsensus
nasional tentang sebuah Dasar Negara
Republik Indonesia yang tertuang dalam naskah Piagam
Jakarta, maka Bangsa Indonesia tidak akan mendapatkan rumusan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang ada saat ini.
Piagam
Jakarta yang memuat dan berisi tentang rumusan resmi
pertama kali sebuahPancasila bagi Republik ini, disusun dan
ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh sembilan pemimpin
terkemuka Indonesia, berikut nama- nama yang menjadi anggota Panitia
Sembilan dari BPUPKI, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno
Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, KHA Wahid
Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Dalam
detik-detik yang menentukan menjelang pengesahan Piagam Jakarta, Ir. Soekarno
selaku Ketua Panitia Sembilan dengan gigih meyakinkan seluruh anggota sidang
BPUPKI untuk menerima rumusan Piagam Jakarta sebagai gentlemen agreement bangsa
Indonesia. BPUPKI adalah satu-satunya badan yang paling representatif untuk
mewakili bangsa Indonesia ketika itu, baik dari segi keterwakilan suku, agama
maupun aliran politik.
Piagam
Jakarta dari segi substansi maupun spiritnya merupakan kristalisasi cita-cita
bangsa dan tujuan bernegara serta perjanjian luhur yang menjiwai proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun sebagaimana diketahui sehari setelah
proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam
bersedia mencoret tujuh kata yang tertuang dibelakang kata Ketuhanan,
yaitu, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Perubahan
yang fundamental tersebut terjadi karena sore hari setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta
yakni tanggal 17 Agustus 1945 itu, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut)
datang menemui Bung Hatta, menyampaikan bahwa wakil-wakil dari
agama Protestan dan agama Katolik dalam daerah-daerah yang
dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang menyatakan keberatan terhadap
bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang dirumuskan oleh
panitia Sembilan dalam bunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka para wakil-wakil katolik dan
protestan mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya
mengenai rakyat yang beragama Islam saja. Bung Hatta
kemudian menemui beberapa pemimpin Islam untuk membicarakan hal
tersebut, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Muhammad
Hasan.
Mantan
Menteri Luar Negeri dan tokoh diplomasi kemerdekaan RI Mr. Mohamad Roem menulis,
“Hilangnya tujuh perkataan (dalam Piagam Jakarta, pen) dirasakan oleh umat
Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya. Tetapi,
karena hilangnya tujuh perkataan itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan
Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam
bersedia memberi korban yang besar itu. Karena itu, Menteri Agama, Jenderal
Alamsjah Ratu
Perwiranegara, pernah mengatakan bahwa Pancasila adalah hadiah
terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia.”
Keputusan
yang diambil oleh beberapa pemimpin Islam dalam waktu yang sangatsingkat
itu, sungguh mencerminkan sikap kenegarawanan dan komitmen terhadap
persatuan dan kesatuan bangsa yang tiada bandingnya dalam sejarah
Republik Indonesia.
Dalam
kaitan ini Bung Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) menyatakan, “Pada
waktu itu kami menginsyafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan
menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya, dan menggantinya dengan kalimat yang
berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal-hal yang mengenai syariat Islam
yang berhubungan dengan kepentingan umat Islam, menurut Hatta, dapat diajukan
ke DPR untuk diatur dalam bentuk Undang-Undang.
Dalam
perkembangan politik nasional setelah Majelis Konstituante yang dibentuk
berdasarkan Pemilu 1955 berlarut-larut dalam merumuskan perubahan UUD, Presiden
Soekarno atas desakan TNI Angkatan Darat mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konsiderans
Dekrit 5 Juli tersebut, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan
bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar.
B. ISI PIAGAM JAKARTA
Piagam
Jakarta adalah hasil musyawarah tentang Dasar Negara Indonesia yang
dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara
pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia Sembilan merupakan
panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI.
Di
dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang setelahnya menjadi
Pancasila dari lima butir, sebagai berikut:
1. Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3. Persatuan
Indonesia
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pada
saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule).
Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh
PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama
diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan butir pertama dilakukan oleh
Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku
Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.
Naskah
Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani
oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul
Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Berikut
adalah naskah piagam Jakarta :
C. NASKAH PIAGAM JAKARTA
Bahwa
sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur.
Atas
berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada
KeTuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jakarta,
22 Juni 1945
IR.
SOEKARNO
Drs.
MOHAMMAD HATTA
Mr.
AA. MARAMIS
ABIKUSNO
TJOKROSURJO
ABDUL
KAHAR MUZAKIR
H.
AGUS SALIM
Mr.
ACHMAD SOEBARDJO
WACHID
HASJIM
D. SIKAP KRISTEN TERHADAP PIAGAM
JAKARTA
Setiap
tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Muslim Indonesia sebagai hari
kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih
tetap menjadikan Piagam Jakarta sebagai momok yang menakutkan. Padahal, Piagam
Jakarta bukanlah barang haram di negara ini. Bahkan, dalam Dekritnya pada 5
Juli 1959, Presiden Soekarno dengan tegas mencantumkan, bahwa “Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan
dengan konstitusi tersebut.”
Namun kaum
Kristen di Indonesia begitu alergi dan ketakutan dengan Piagam Jakarta. Sebagai
contoh, pada tabloid Kristen REFORMATA edisi 103/Tahun VI/16-31
Maret 2009 menurunkan laporan utama berjudul “RUU Halal dan Zakat: Piagam
Jakarta Resmi Diberlakukan?” Dalam pengantar redaksinya, tabloid Kristen
yang terbit di Jakarta ini menulis bahwa dia mengemban tugas mulia untuk
mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis, sebagaimana
diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa.
“Hal
ini perlu terus kita ingatkan sebab akhir-akhir ini kelihatannya makin
gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang
berfalsafah Pancasila, demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu
dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita
saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah
(perda) yang diberlakukan di berbagai tempat, sekalipun banyak rakyat yang
menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa
aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan
kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil
dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,”
Cornelius
D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Inteligensia Kristen
Indonesia), seperti dikutip tabloid Reformata menyatakan, bahwa Piagam Jakarta
sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesian melalui Perda dan UU.
“Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya tertulis, tapi sungguh
nyata sekarang,” tegasnya. Yang menggemaskan, demikian Cornelius, yang
melakukan hal itu, bukan lagi para pejuang ekstrim kanan, tapi oknum-oknum di
pemerintahan dan DPR. “Ini kecelakaan sejarah. Harusnya penyelenggara negara
itu bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen,” kata
Cornelius lagi. Bahkan, tegasnya, “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang
berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI.”
Bagi
umat Islam di Indonesia, sikap antipati kaum Kristen terhadap syariat
Islam tentulah bukan hal yang baru. Mereka berpendapat, bahwa
penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila. Pada era
1970-1980-an, logika semacam ini sering kita jumpai. Para siswi yang berjilbab
di sekolahnya, dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau
menghadiri perayaan Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang
enggan menjawab tes mental, bahwa ia tidak setuju untuk menikahkan anaknya
dengan orang yang berbeda, juga bisa dicap anti-Pancasila. Kini, di era
reformasi, sebagian kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk
membungkam aspirasi keagamaan kaum Muslim.
Rumusan
Pancasila yang sekarang adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang
adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5. Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut adalah yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hasil dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang
dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan
konstitusi tersebut.”
Jadi,
Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian
yang sah dan tidak terpisahkan dari Konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, UUD 1945. Dekrit Presiden itulah yang kembali
memberlakukan Pancasila yang sekarang. Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat
dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5
Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak
dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup
semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai
Undang-undang Dasar 1945 tersebut,”
Karena
itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada pihak-pihak tertentu di Indonesia
yang alergi terhadap Piagam Jakarta. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh
utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis:
“Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara
histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan
UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD
’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD
’45.”
Dalam
pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung
Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh Muhammadiyah, yang juga Menteri Agama ketika
itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di
Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat
Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi
kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi
adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau
menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia
telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.”
Meskipun
Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945,
tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk
menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis
sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi,
sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia
(1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling
takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta. Ketakutan akan Piagam
Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan
antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah PKI beserta antek-anteknya
dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.”
Jadi,
sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi
Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah
Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas,
sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam
Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta
sebagai konsideran.
Sebagai
contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap
bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni
1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi
tersebut.”
Dalam
Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam
Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan
Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar
1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.
Ridwan berpendapat,
bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat Muslim. Tanpa
UUD atau tanpa negara pun, umat Islam akan menjalankan syariat Islam. Karena
itu, Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk menjalankan
syariatnya. Dan itu telah diatur dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
dituangkan dalam Keppres No. 150/tahun 1959 sebagaimana ditempatkan dalam
Lembaran Negara No. 75/tahun 1959. Hukum Islam telah diterapkan di bumi
Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kaum penjajah Kristen
datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda
berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan
Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang
sangat gigih dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak
berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari
sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat
RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH),
pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan
agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan
anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum
hukuman (strafstrecht).” Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga,
Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi
Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC
terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin
menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda
usaha itu sia-sia belaka.”
Kegagalan
penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi
pelajaran berharga bagi kaum Kristen di Indonesia. Mereka harusnya menyadari
bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan kedudukan
hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang
kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai pertimbangan.
Dalam
bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka,
2008), Pendeta Herlianto menguraikan bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum
Kristen saat ini. Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan
kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat,
melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih.
Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat
(khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan dalam Taurat, tetapi
tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi
syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi sebelumnya, tetapi
ditafsirkan sebagai “sunat rohani.’’
Babi,
misalnya, juga secara tegas diharamkan dalam Kitab Imamat, 11:7-8. Tetapi, teks
Bibel versi Indonesia tentang babi itu sendiri memang sangat beragam, meskipun
diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI,
tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia
itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia
kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu
mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.” (Dalam Alkitab versi
LAI tahun 2007, kata babi berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi
hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak
memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu
makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”). Pada
tahun yang sama, 2007, LAI juga menerbitkan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa
Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan makan babi. Binatang itu haram,
karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya tak boleh
dimakan dan bangkainya pun tak boleh disentuh karena binatang itu haram.”
Jika
dibaca secara literal, maka jelaslah, harusnya babi memang diharamkan. Tetapi,
kaum Kristen mempunyai cara tersendiri dalam memahami kitabnya. Menurut
Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas:
“Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati
bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan
baru dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum-hukum Taurat.”
Pandangan
kaum Kristen terhadap hukum Taurat tentu saja sangat berbeda dengan pandangan
dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam. Sampai kiamat, umat Islam
tetap menyatakan, bahwa babi adalah haram. Teks al-Quran yang mengharamkan babi
juga tidak pernah berubah sepanjang zaman, sampai kiamat. Hingga kini, tidak
ada satu pun umat Islam yang menolak syariat khitan, dan menggantikannya dengan
“khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan hanya menerima ajaran, tetapi juga
mempunyai contoh dalam pelaksanaan syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena
sifatnya yang final dan universal, maka syariat Islam berlaku sepanjang zaman
dan untuk semua umat manusia. Apa pun latar belakang budayanya, umat Islam
pasti mengharamkan babi dan mewajibkan shalat lima waktu. Apalagi, dalam
pandangan Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia;
mulai tata cara mandi sampai mengatur perekonomian.
Pandangan
dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam semacam ini harusnya dipahami dan
dihormati oleh kaum Kristen. Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di
Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan
penjajah Kristen Belanda, dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh
kaum Muslimin yang melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”,
“anti-NKRI”, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Piagam
Jakarta merupakan rumusan resmi pertama kali Pancasila bagi
Republik ini, disusun dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945
oleh sembilan pemimpin terkemuka Indonesia, berikut nama- nama yang
menjadi anggota Panitia Sembilan dari BPUPKI, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta,
A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim,
Ahmad Subardjo, KHA Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Piagam Jakarta
merupakan kristalisasi cita-cita bangsa dan tujuan bernegara serta perjanjian
luhur yang menjiwai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Di
dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang setelahnya menjadi
Pancasila dari lima butir, sebagai berikut:
1. Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3. Persatuan
Indonesia
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sore
hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus
1945 itu, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) datang menemui Bung Hatta,
menyampaikan bahwa wakil-wakil dari agama Protestan
dan agama Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan
Laut Jepang menyatakan keberatan terhadap bagian kalimat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar yang dirumuskan oleh panitia Sembilan
dalambunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat
mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam saja. “Hilangnya tujuh
perkataan (dalam Piagam Jakarta, pen) dirasakan oleh umat Islam sebagai
kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya
tujuh perkataan itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan
memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam bersedia memberi
korban yang besar itu.Keputusan yang diambil oleh beberapa pemimpin Islam dalam
waktu yang sangat singkat itu, sungguh mencerminkan sikap
kenegarawanan dan komitmen terhadap persatuan dan kesatuan bangsa
yang tiada bandingnya dalam sejarah Republik Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Kasman
Singodimedjo 75 Tahun, Hidup Itu Berjuang, Jakarta:
Bulan Bintang,1982.
Saifuddin
Anshari, Endang, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus
Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: GIP
0 Response to "Sejarah Piagam Jakarta"
Posting Komentar