BAB I
PENDAHULUAN
Globalisasi
dunia ditandai oleh derasnya arus komunikasi yang mampu menerobos dan melintasi
dinding pemisah antar daerah, pulau, dan bahkan antar negara. Pada era ini,
jarak yang membatasi posisi antar negara di belahan dunia bukan lagi merupakan
kendala atau hambatan yang sulit untuk ditembus dalam proses komunikasi. Dunia
yang begitu luas ini dapat ditransformasikan seolah-olah menjadi sebuah desa
atau perkampungan kecil yang dapat dijangkau dengan cepat dari segala arah,
sehingga setiap peristiwa yang terjadi pada suatu daerah atau negara dapat
didengar atau dilihat dengan mudah oleh negara lain seketika itu juga. Jagat
raya ibarat sebuah globe yang berupa peta dunia berbentuk seperti bola yang
berada diatas sebuah meja, sehingga dengan hanya memutar posisi bola tersebut
suatu daerah atau negara-negara lain dapat dilihat berkali-kali dengan mudah.
Kondisi ini dapat terjadi karena adanya perkembangan teknologi komunikasi yang
cukup pesat dan cenderung spektakuler.
Implikasi dari era globalisasi ini adalah terjadinya era perdagangan bebas antar negara atau kawasan. Perdagangan bebas antar kawasan asia (Asia Free Trade Area) akan diberlakukan pada tahun 2003, sedangkan NAFTA (North Afrika Free Trade Area) akan diberlakukan sekitar tahun 2020. Pada sistem perdagangan bebas tersebut, suatu negara dapat menunjukkan dan sekaligus mempromosikan segala kehebatannya kepada negara lain secara leluasa. Produk-produk dari pengembangan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni masing-masing negara akan saling berkompetisi demi merebut dan menguasai pangsa pasar lokal maupun global. Dengan demikian, akan terjadi persaingan produk dari segi fisik maupun finansial. Hal yang paling dibutuhkan oleh suatu negara dalam menghadapi pasar bebas tersebut adalah menyiapkan sumber daya manusia yang cukup, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas.
Indonesia yang merupakan salah satu dari negara yang terlibat dalam sistem perdagangan bebas harus memiliki strategi yang jitu untuk menghadapi era yang sarat dengan kompetisi tersebut. Strategi tersebut tentunya disusun dan dibuat berdasarkan pada kemampuan bangsa Indonesia dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusianya. Mengingat republik ini merupakan negara agraris, maka hal utama yang perlu dipikirkan dalam menyusun dan menentukan strategi tersebut adalah memperkuat sektor pertanian sebagai unsur industri primer (pertanian, kehutanan, dan perikanan). Hal ini disebabkan dengan tangguhnya sektor pertanian akan menghasilkan ketahanan pangan yang mengakibatkan bangsa ini mempunyai modal dasar yang kokoh untuk menangkal segala gangguan, tantangan, dan ancaman baik yang bersifat lokal maupun global. Di samping itu, tentunya juga harus dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa berdasarkan pengalaman di Inggris, Jepang, dan Korea Selatan penurunan jumlah tenaga kerja pada industri primer tergantung pada peningkatan jumlah tenaga kerja pada industri sekunder ( pertambangan, konstruksi, dan manufaktur) serta industri tersier yang meliputi listrik, gas, air dan uap, transportasi, komunikasi, perdagangan besar dan eceran, keuangan, ansuransi, perumahan, jasa, pemerintah, dan lain-lainnya. Berdasarkan hal tersebut jika sektor pertanian sudah tangguh, efisien, dan modern maka secara otomatis akan memberikan dukungan bagi pengembangan seluruh sektor industri lainnya, yakni dengan cara mengalihkan sumber daya tanaga kerja yang tadinya pada sektor pertanian (industri primer) untuk bekerja di sektor industri sekunder dan tersier.
Implikasi dari era globalisasi ini adalah terjadinya era perdagangan bebas antar negara atau kawasan. Perdagangan bebas antar kawasan asia (Asia Free Trade Area) akan diberlakukan pada tahun 2003, sedangkan NAFTA (North Afrika Free Trade Area) akan diberlakukan sekitar tahun 2020. Pada sistem perdagangan bebas tersebut, suatu negara dapat menunjukkan dan sekaligus mempromosikan segala kehebatannya kepada negara lain secara leluasa. Produk-produk dari pengembangan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni masing-masing negara akan saling berkompetisi demi merebut dan menguasai pangsa pasar lokal maupun global. Dengan demikian, akan terjadi persaingan produk dari segi fisik maupun finansial. Hal yang paling dibutuhkan oleh suatu negara dalam menghadapi pasar bebas tersebut adalah menyiapkan sumber daya manusia yang cukup, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas.
Indonesia yang merupakan salah satu dari negara yang terlibat dalam sistem perdagangan bebas harus memiliki strategi yang jitu untuk menghadapi era yang sarat dengan kompetisi tersebut. Strategi tersebut tentunya disusun dan dibuat berdasarkan pada kemampuan bangsa Indonesia dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusianya. Mengingat republik ini merupakan negara agraris, maka hal utama yang perlu dipikirkan dalam menyusun dan menentukan strategi tersebut adalah memperkuat sektor pertanian sebagai unsur industri primer (pertanian, kehutanan, dan perikanan). Hal ini disebabkan dengan tangguhnya sektor pertanian akan menghasilkan ketahanan pangan yang mengakibatkan bangsa ini mempunyai modal dasar yang kokoh untuk menangkal segala gangguan, tantangan, dan ancaman baik yang bersifat lokal maupun global. Di samping itu, tentunya juga harus dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa berdasarkan pengalaman di Inggris, Jepang, dan Korea Selatan penurunan jumlah tenaga kerja pada industri primer tergantung pada peningkatan jumlah tenaga kerja pada industri sekunder ( pertambangan, konstruksi, dan manufaktur) serta industri tersier yang meliputi listrik, gas, air dan uap, transportasi, komunikasi, perdagangan besar dan eceran, keuangan, ansuransi, perumahan, jasa, pemerintah, dan lain-lainnya. Berdasarkan hal tersebut jika sektor pertanian sudah tangguh, efisien, dan modern maka secara otomatis akan memberikan dukungan bagi pengembangan seluruh sektor industri lainnya, yakni dengan cara mengalihkan sumber daya tanaga kerja yang tadinya pada sektor pertanian (industri primer) untuk bekerja di sektor industri sekunder dan tersier.
Relevansinya
dengan uraian di atas, pengembangan teknologi berbasis pertanian yang dapat
dicirikan melalui inovasi dan introduksi alat atau mesin pertanian untuk proses
produksi mulai dari prapanen hingga pascapanen merupakan masalah yang urgen.
Hal ini disebabkan bahwa modernisasi pertanian yang dilandasi sistem agribisnis
atau agroindustri sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional demi
mewujudkan kesejahteraan rakyat dan swasembada pangan, haruslah dikelola secara
efektif dan efisien dalam setiap penggunaan sarana produksi (bibit, pupuk,
obat, dan peralatan) untuk mencapai produktifitas, kualitas, dan keuntungan
yang maksimal. Kondisi ini dapat terwujud apabila pengembangan teknologi
pertanian beserta perangkat pendukungnya benar-benar diperhatikan secara
serius.
B. Sekilas
mengenai Teknologi Pertanian
Teknologi
pertanian sering dipahami sebagai penggunaan mesin-mesin pertanian lapang (mechanization)
pada proses produksi pertanian, bahkan sering dipandang sebagai traktorisasi.
Pemahaman seperti itu dapat dimaklumi karena introduksi teknologi di bidang
pertanian ketika itu diawali dengan gerakan mekanisasi pertanian untuk memacu
produksi pangan terutama dengan penerapan traktor seperti percobaan mekanisasi
pertanian di Sekon Timor-Timur tahun 1946, pool-pool traktor pada tahun 1958,
perusahaan bahan makanan dan pembukaan lahan tahun 1958, serta PN. Mekatani
(Mekanisasai Pertanian) tahun 1962.
Mekanisasi pertanian diartikan secara bervariasi oleh beberapa orang. Menurut Moens (1978) Mekanisasi pertanian diartikan sebagai pengenalan dan penggunaan dari setiap bantuan yang bersifat mekanis untuk melangsungkan operasi pertanian. Bantuan yang bersifat mekanis tersebut termasuk semua jenis alat atau perlengkapan yang digerakkan oleh tenaga manusia, hewan, motor bakar, motor listrik, angin, air, dan sumber energi lainnya. Secara umum mekanisasi pertanian dapat juga diartikan sebagi penerapan ilmu teknik untuk mengembangkan, mengorganisasi, dan mengendalikan operasi di dalam produksi pertanian. Ruang lingkup mekanisai pertanian juga berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan modernisasi pertanian. Handaka (1996) mengartikan bahwa pada saat ini teknologi mekanisasi yang digunakan dalam proses produksi sampai pasca panen (penanganan dan pengolahan hasil) bukan lagi hanya teknologi yang didasarkan pada energi mekanis, namun sudah mulai menggunakan teknologi elektronika atau sensor, nuklir, image processing, bahkan sampai teknologi robotik. Jenis teknologi tersebut digunakan baik untuk proses produksi, pemanenan, dan penanganan atau pengolahan hasil pertanian.
Dilihat dari besarnya kegiatan usaha pertanian dan besarnya kebutuhan akan pangan baik untuk konsumsi domestik maupun export, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan teknologi mekanisasi pertanian di Indonesia masih belum menggembirakan. Hal yang serupa terjadi terhadap perkembangan industri alat dan mesin pertanian (alsintan). Jika teknologi pertanian dianggap sebagai unsur penentu dalam upaya mencukupi ketersediaan bahan pangan dalam negeri saja, maka perkembangan teknologi alsintan tersebut masih sangat lambat. Pada tahun 2000 Indonesia masih melakukan impor pangan senilai 1.36 milyar dolar AS, yang terdiri atas impor beras berjumlah 0.5 juta ton, gandum 3.6 juta ton, jagung 1.2 juta ton, dan kedelai sebesar 1.3 juta ton (Rajasa, 2002).
Mekanisasi pertanian diartikan secara bervariasi oleh beberapa orang. Menurut Moens (1978) Mekanisasi pertanian diartikan sebagai pengenalan dan penggunaan dari setiap bantuan yang bersifat mekanis untuk melangsungkan operasi pertanian. Bantuan yang bersifat mekanis tersebut termasuk semua jenis alat atau perlengkapan yang digerakkan oleh tenaga manusia, hewan, motor bakar, motor listrik, angin, air, dan sumber energi lainnya. Secara umum mekanisasi pertanian dapat juga diartikan sebagi penerapan ilmu teknik untuk mengembangkan, mengorganisasi, dan mengendalikan operasi di dalam produksi pertanian. Ruang lingkup mekanisai pertanian juga berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan modernisasi pertanian. Handaka (1996) mengartikan bahwa pada saat ini teknologi mekanisasi yang digunakan dalam proses produksi sampai pasca panen (penanganan dan pengolahan hasil) bukan lagi hanya teknologi yang didasarkan pada energi mekanis, namun sudah mulai menggunakan teknologi elektronika atau sensor, nuklir, image processing, bahkan sampai teknologi robotik. Jenis teknologi tersebut digunakan baik untuk proses produksi, pemanenan, dan penanganan atau pengolahan hasil pertanian.
Dilihat dari besarnya kegiatan usaha pertanian dan besarnya kebutuhan akan pangan baik untuk konsumsi domestik maupun export, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan teknologi mekanisasi pertanian di Indonesia masih belum menggembirakan. Hal yang serupa terjadi terhadap perkembangan industri alat dan mesin pertanian (alsintan). Jika teknologi pertanian dianggap sebagai unsur penentu dalam upaya mencukupi ketersediaan bahan pangan dalam negeri saja, maka perkembangan teknologi alsintan tersebut masih sangat lambat. Pada tahun 2000 Indonesia masih melakukan impor pangan senilai 1.36 milyar dolar AS, yang terdiri atas impor beras berjumlah 0.5 juta ton, gandum 3.6 juta ton, jagung 1.2 juta ton, dan kedelai sebesar 1.3 juta ton (Rajasa, 2002).
C. Teknologi
Mekanisasi Pertanian Saat Ini
Mekanisasi
pertanian dalam arti luas bertujuan untuk meningkatkan produktifitas tenaga
kerja, meningkatkan produktifitas lahan, dan menurunkan ongkos produksi.
Penggunaan alat dan mesin pada proses produksi dimaksudkan untuk meningkatkan
efesiensi, efektifitas, produktifitas, kualitas hasil, dan megurangi beban
kerja petani.
Dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa perkembangan teknologi mekanisasi pertanian di Indonesia berada pada tanaman pangan padi sawah yang menghasilkan produk beras. Bila diasumsikan 50% dari 5,9 juta ha lahan sawah irigasi dapat diolah dengan traktor 2-roda dan rata-rata daya traktor 8 hp, maka daya traktor yang tersedia adalah 0,146 hp/ha. Pengalaman dari negara-negara tetangga Asia menunjukkan bahwa perkembangan mekanisasi pertanian diawali dengan penataan lahan (konsolidasi lahan), keberhasilan dalam pengendalian air, masukan teknologi biologis, dan teknologi kimia. Penerapan teknologi mekanisasi pertanian yang gagal telah terjadi di Srilangka yang disebabkan kecerobohan akibat penerapan mesin-mesin impor secara langsung tanpa disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik pertaniannya. Berbeda halnya dengan Jepang yang melakukan modifikasi sesuai dengan kondisi lokal, kemudian baru memproduksi sendiri untuk digunakan oleh petani mereka.
D. Perkembangan Industri Alsintan
Dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa perkembangan teknologi mekanisasi pertanian di Indonesia berada pada tanaman pangan padi sawah yang menghasilkan produk beras. Bila diasumsikan 50% dari 5,9 juta ha lahan sawah irigasi dapat diolah dengan traktor 2-roda dan rata-rata daya traktor 8 hp, maka daya traktor yang tersedia adalah 0,146 hp/ha. Pengalaman dari negara-negara tetangga Asia menunjukkan bahwa perkembangan mekanisasi pertanian diawali dengan penataan lahan (konsolidasi lahan), keberhasilan dalam pengendalian air, masukan teknologi biologis, dan teknologi kimia. Penerapan teknologi mekanisasi pertanian yang gagal telah terjadi di Srilangka yang disebabkan kecerobohan akibat penerapan mesin-mesin impor secara langsung tanpa disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik pertaniannya. Berbeda halnya dengan Jepang yang melakukan modifikasi sesuai dengan kondisi lokal, kemudian baru memproduksi sendiri untuk digunakan oleh petani mereka.
D. Perkembangan Industri Alsintan
Perkembangan
mekanisasi pertanian tidak terlepas dari peranan industri alat dan mesin
pertanian (alsintan) swasta. Sebagian besar dari alsintan produksi beras sudah
dapat diproduksi dalam negeri. Pelopor industri alsintan yang berhasil adalah
yang berlokasi di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Sumatera Barat. Bahkan saat ini
ada perusahaan yang telah mampu mengekspor produknya ke 16 negara. Alsintan
beserta suku cadangnya yang diekspor tersebut adalah traktor tangan, rice
milling unit, rubber roll, dan pompa air.
E. Pengembangan Teknologi Pertanian sebagai Modal Kemandirian
E. Pengembangan Teknologi Pertanian sebagai Modal Kemandirian
Untuk
mencapai pembangunan pertanian yang tangguh, efesien, dan modern haruslah
didukung oleh teknologi pertanian yang cocok untuk petani kita. Jenis teknologi
yang cocok tidak mesti harus yang muthakir dan canggih, tetapi teknologi
tersebut dapat diterapkan dan dikembangkan sendiri oleh masyarakat kita.
Terkadang kita tidak dapat menghindarkan dari proses alih teknologi. Namun
demikian dalam alih teknologi tersebut kita tidak boleh hanya mengadopsi
teknologi secara mentah-mentah untuk langsung diterapkan pada masyarakat petani
kita. Melainkan teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi,
dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita.
Hal ini harus benar-benar dijadikan dasar pemikiran dalam kaitannya dengan alih
teknologi, karena sistem pertanian di negara sumber teknologi mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan.negara atau pihak yang mengalihkan teknologi
(dalam hal ini Indonesia).
Sehubungan
dengan hal tersebut, Indonesia melalui pihak swasta telah membuat dan mengembangkan
teknologi pertanian yang sesuai dengan kondisi sistem partanian kita sendiri.
Traktor, Thresher (perontok), Rice Milling Unit (RMU), Dryer (pengering), dan
lain-lainnya sudah dapat dibuat sendiri oleh bangsa kita. Dimana pada
kenyataannya alat dan mesin pertanian tersebut dapat digunakan oleh petani
kita. Dengan demikian memungkinkan para petani untuk meningkatkan
produktifitasnya sehingga ketahanan pangan atau swasembada pangan dapat dicapai
dalam masyarakat kita yang majemuk dan rentan dengan perpecahan (disintegrasi).
Suatu hal yang paling mendasar yang masih belum
diperhatikan dalam pengembangan teknologi pertanian di Indonesia hingga kini
adalah kurang memadainya dukungan prasarana pertanian. Prasarana pertanian kita
belum dikelola secara baik, sehingga masih agak sulit atau lambat dalam
melakukan introduksi mesin-mesin pertanian. Pengelolaan lahan, pengaturan dan
manejemen pengairan yang meliputi irigasi dan drainase, serta pembuatan
jalan-jalan transportasi daerah pertanian, dan masih banyak lagi aspek lainnya
yang belum disentuh secara sungguh-sungguh dan profesional.
Relevansinya
dengan hal tersebut, beberapa hal penting yang harus dilaksanakan antara lain
adalah merencanakan atau memperbaiki kondisi lahan (konsolidasi lahan). Selain
itu juga mendatangkan dan mengupayakan agar prasarana dan sarana pertanian
sampai dan tersedia di lapangan tepat waktu dan tujuan sehingga dapat
mengakselerasi pencapaian visi dan misi pertanian modern.
Pengembangan
teknologi pertanian diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian
masyarakat kita umumnya dan petani khususnya. Dapat dipastikan bahwa jika
teknologi pertanian yang cocok tersebut telah berhasil dikembangkan dan
diterapkan di negara kita, maka ketahanan pangan atau swasembada pangan pasti
akan tercapai sehingga kemandirian dalam hal ekonomi dan politik dapat kita
wujudkan. Apabila hal tersebut benar-benar kita miliki, maka dalam menghadapi
era global nanti kita sudah punya bekal paling tidak ketahanan pangan dalam
menghadapi beberapa goncangan. Dengan ketahanan pangan berarti bahaya
kekurangan pangan atau kelaparan akibat tajamnya persaingan pada era global
dapat dihindarkan. Pada akhirnya kita punya modal kemandirian minimal dalam
satu aspek pangan dan beberapa aspek lainnya misalnya keutuhan bangsa dan
semangat untuk berkompetesi demi kemajuan bangsa yang berdaulat dan
bermartabat.
F. Tantangan
dan Strategi Pengembangan Teknologi Alsintan
Terdapat
sejumlah permasalahan dalam upaya pengembangan teknologi pertanian (alsintan)
di dalam negeri yakni: (1) sistem standarisasi, sertifikasi, dan pengujian
alsintan masih lemah, (2) pemanfaatan dan ketersediaan alsintan masih kurang,
(3) sekala usaha penggunaan alsintan belum memadai, (4) dukungan perbengkelan
masih lemah, (5) belum mantapnya kelembagaan alsintan, (6) belum optimalnya
pengelolaan alsintan di subsektor peternakan, dan (7) masih rendahnya
partisipasi masyarakat/swasta dalam pemanfaatan dan pengembangan alsintan serta
terbatasnya daya beli maupun permodalan akibat daya tukar produk pertanian yang
makin menurun.
Berdasarkan
permasalahan di atas, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan teknologi alat
dan mesin pertanian adalah: (1) menyiapkan perangkat peraturan
perundang-undangan tentang alsintan, (2) menumbuh kembangkan industri dan
penerapan alsintan, (3) mengembangkan kelembagaan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan
(UPJA) yang mandiri untuk meningkatkan efisiensi penggunaan alsintan, (4)
mengembangkan lembaga pengujian alsintan yang terakreditasi di daerah dalam
rangka otonomi daerah, (5) mengembangkan alsintan sesuai dengan kondisi sosial
budaya masyarakat setempat, dan (6) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengembangan alsintan.
Undang undang yang memberikan peluang terhadap
pengembangan teknologi alat dan mesin pertanian bagi tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, peternakan, dan pengolahan serta pemasaran hasil
diantaranya adalah terbitnya undang-undang No. 12 tahun 1992 tentang sistem
budidaya tanaman, undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
dan undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang belum ditindak
lanjuti secara menyeluruh terutama dalam bidang alat dan mesin pertanian.
Disamping
hal tersebut, terdapat beberapa peluang lain yakni: (1) alsintan sudah menjadi
kebutuhan utama bagi petani dalam mengelola usaha taninya, (2) masih luasnya
lahan pertanian yang belum tergarap karena kurangnya tenaga kerja, (3)
menurunnya minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian dengan
teknologi sederhana sehingga peluang penggunaan teknologi alat dan mesin
pertanian semakin terbuka, (4) mulai tumbuhnya industri alsintan dalam negeri
dan perbengkelan yang dapat menyediakan suku cadang demi kelancaran operasional
di lapangan, dan (6) tuntutan konsumen terhadap produk pertanian tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan yang berkualitas dan higienis
semakin memperbesar peluang pengembangan alsintan lebih lanjut.
Relevansinya
dengan beberapa permasalahan, tantangan, dan peluang di atas maka strategi
dalam pengembangan alat dan mesin pertanian adalah menyiapkan peraturan
perundang-undangan yang kondusif bagi pengembangan alsintan tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, peternakan serta pengolahan dan pemasaran hasil
pertanian. Di samping itu juga dilakukan upaya untuk memperkuat kelembagaan
Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) dan lembaga terkait dalam pengembangan
alsintan. Selanjutnya adalah mengoptimalkan pemanfaatan alsintan untuk proses
produksi pertanian dalam mendukung pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang
berdaya saing dalam tataran global, berkerakyatan, berkelanjutan, dan
desentralistik.
PENUTUP
Menyadari sepenuhnya bahwa negara
kita mempunyai potensi terbesar di bidang pertanian maka kebijakan teknologi
harus berbasis pada tangguhnya sektor pertanian. Pengalaman dari negara-negara
yang sudah maju selalu memulai kemajuannya dari potensi dasar yang dimilikinya.
Misalnya Jepang, negara yang cukup canggih dalam menghasilkan teknologi ini
memulai debutnya juga dengan memodernisasi teknologi pertaniaanya. Tetapi
sayang sungguh sayang terhadap apa yang dilakukan republik ini selama hampir 50
tahun justru menginjak-injak sektor pertanian, seakan pertanian adalah keset yang
selalu diposisikan paling bawah. Betapa tidak rusaknya logika berpikir jika
pesawat terbang yang nota bene hasil rancangan putra-putra terbaik negara ini
justru ditukar dengan beras ketan yang dapat dengan mudah dihasilkan oleh
petani kita. Dengan demikian pengembangan teknologi negara kita belum berbasis
pada pertanian. Mengapa republik ini tidak menghabiskan dana besar-besaran
untuk memacu teknologi pertanian, misalnya industri traktor, pengering,
megkonsolidasi lahan, atau bahkan meningkatkan agro industri ?. Mungkin hal ini
disebabkan oleh sebagian besar masyarakat kita yang tidak menyadari sepenuhnya
bahwa keunggulan komparatif yang kita miliki berada di sektor pertanian.
Padahal pengalaman menunjukkan bahwa negara yang berdaya saing tinggi adalah negara
yang mampu mengembangkan keunggulan komparatifnya menjadi keunggulan
kompetitif. Di samping hal tersebut, masyarakat kita selalu memandang bertani
merupakan pekerjaan yang tidak menarik atau selalu identik dengan pekerja kasar
yang selalu bergelepotan dengan lumpur.
Waktu telah bergulir, dan kini kita telah memasuki era global yang sarat dengan kompetisi. Persaingan terang-terangan yang bersifat lokal maupun global akan terjadi. Negara yang tidak mempunyai dasar yang kuat dalam sistem perekonomiannya akan menjadi incaran dan mangsa bagi negara lain yang telah unggul teknologinya. Sehingga hal ini menyebabkan perbedaan yang semakin mencolok antara negara maju dengan negara yang belum maju.
Oleh karenanya, demi kemandirian bangsa, minimal kita harus mempunyai ketahanan pangan. Hal ini dapat dicapai bila sistem pertanian kita dikelola secara maksimal, berorientasi pasar, serba efektif dan efisien dalam penggunaan sarana input produksi (bibit, pupuk, obat, dan peralatan) sehingga tercapai produktifitas dan kualitas demi memperoleh keuntungan yang maksimum. Hal ini dapat tercapai bila peranan teknologi pertanian (alsintan) makin dikembangkan dan dioptimalkan berdasarkan strategi pembangunan sistem agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralistis.
Waktu telah bergulir, dan kini kita telah memasuki era global yang sarat dengan kompetisi. Persaingan terang-terangan yang bersifat lokal maupun global akan terjadi. Negara yang tidak mempunyai dasar yang kuat dalam sistem perekonomiannya akan menjadi incaran dan mangsa bagi negara lain yang telah unggul teknologinya. Sehingga hal ini menyebabkan perbedaan yang semakin mencolok antara negara maju dengan negara yang belum maju.
Oleh karenanya, demi kemandirian bangsa, minimal kita harus mempunyai ketahanan pangan. Hal ini dapat dicapai bila sistem pertanian kita dikelola secara maksimal, berorientasi pasar, serba efektif dan efisien dalam penggunaan sarana input produksi (bibit, pupuk, obat, dan peralatan) sehingga tercapai produktifitas dan kualitas demi memperoleh keuntungan yang maksimum. Hal ini dapat tercapai bila peranan teknologi pertanian (alsintan) makin dikembangkan dan dioptimalkan berdasarkan strategi pembangunan sistem agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralistis.
Apabila kita
sudah memiliki ketahanan pangan maka sangat memungkinkan bagi kita untuk
berkonsentrasi dalam mengembangkan dan mengejar bahkan menandingi produk produk
teknologi dari negara yang sudah maju. Meskipun hal ini memakan biaya, tenaga,
dan waktu yang tidak sedikit serta membutuhkan dukungan dari segenap komponen
masyarakat. Melalui langkah yang sistematis, bersungguh-sungguh, dan konsisten
dalam upaya melakukan inovasi atau pengembangan teknologi alat dan mesin
pertanian, maka kita memiliki peluang yang sangat besar untuk dapat
berkompetisi dengan bangsa lain dalam menghadapi era global.
Komentar