PUPUK ANORGANIK
Pupuk anorganik adalah pupuk yang
dibuat oleh pabrik-pabrik pupuk dengan meramu bahan-bahan kimia anorganik
berkadar hara tinggi. Misalnya urea berkadar N 45-46% (setiap 100 kg urea
terdapat 45-46 kg hara nitrogen) (Lingga dan Marsono, 2000).
Pupuk anorganik atau pupuk buatan dapat
dibedakan menjadi pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Pupuk tunggal adalah
pupuk yang hanya mengandung satu unsur hara misalnya pupuk N, pupuk P, pupuk K
dan sebagainya. Pupuk majemuk adalah pupuk yang mengandung lebih dari
satu unsur hara misalnya N + P, P + K, N + K, N + P + K dan sebagainya
(Hardjowigeno, 2004).
Ada beberapa keuntungan dari pupuk
anorganik, yaitu (1) Pemberiannya dapat terukur dengan tepat, (2) Kebutuhan
tanaman akan hara dpat dipenuhi dengan perbandingan yang tepat, (3) Pupuk anorganik
tersedia dalam jumlah cukup, dan (4) Pupuk anorganik mudah diangkut karena
jumlahnya relatif sedikit dibandingkan dengan pupuk organik. Pupuk
anorganik mempunyai kelemahan, yaitu selain hanya mempunyai unsur makro,
pupuk anorganik ini sangat sedikit ataupun hampir tidak mengandung unsur
hara mikro (Lingga dan Marsono, 2000).
Nitrogen (N)
Sumber utama nitrogen adalah nitrogen
bebas (N2) di atmosfer, yang takarannya mencapai 78% volume, dan
sumber lainnya senyawa-senyawa yang tersimpan dalam tubuh jasad. Nitrogen
sangat jarang ditemui karena sifatnya yang mudah larut dalam air (Poerwowidodo,
1992).
Nitrogen diserap oleh tanaman sebagai
NO3- dan NH4+ kemudian dimasukkan ke dalam semua gas
amino dan Protein (Indrana, 1994). Ada juga bentuk pokok nitrogen dalam
tanah mineral, yaitu nitrogen organik, bergabung dengan humus tanah ; nitrogen
amonium dapat diikat oleh mineral lempung tertentu, dan amonium anorganik dapat
larut dan senyawa nitrat (Buckman dan Brady, 1992).
Nitrogen yang tersedia tidak dapat langsung
digunakan, tetapi harus mengalami berbagai proses terlebih dahulu. Pada
tanah yang immobilitasnya rendah nitrogen yang ditambahkan akan bereaksi dengan
pH tanah yang mempengaruhi proses nitrogen. Begitu pula dengan proses
denitrifikasi yang pada proses ini ketersediaan nitrogen tergantung dari
mikroba tanah yang pada umumnya lebih menyukai senyawa dalam bentuk ion amonium
daripada ion nitrat (Jumin, 1992).
Peranan utama nitrogen (N) bagi
tanaman jagung adalah merangsang pertumbuhan secara keseluruhan, khususnya
batang, cabang dan daun. Selain itu, nitrogen pun berperan penting dalam
pembentukan zat hijau daun yang sangat berguna dalam proses fotosintesis
(Lingga dan Marsono, 2000).
Kekahatan atau defisiensi nitrogen
menyebabkan proses pembelahan sel terhambat dan akibatnya menyusutkan
pertumbuhan. Selain itu, kekahatan senyawa protein menyebabkan kenaikan
nisbah C/N, dan kelebihan karbohidrat ini akan meningkatkan kandungan selulosa
dan lignin. Ini menyebabkan tanaman jagung yang kahat akan nitrogen
tampak kecil, kering, tidak sekulen, dan sudut daun terhadap batang sangat
runcing (Poerwowidodo, 1992).
Salah satu bentuk pupuk N yang banyak
digunakan adalah urea (CO(NH2)2). Urea dibuat dari
gas amoniak dan gas asam arang. Persenyawaan kedua zat ini malahirkan
pupuk urea dengan kandungan N sebanyak 46% (Lingga dan Marsono, 2002).
Urea termasuk pupuk yang higroskopis
(mudah menarik uap air). Pada kelembaban 73%, pupuk ini sudah mampu
menarik uap air dan udara. Oleh karena itu urea mudah larut dan mudah
diserap oleh tanaman (Lingga dan Marsono, 2002).
Urea dapat membuat tanaman hangus,
terutama yang memiliki daun yang amat peka. Untuk itu, semprotkan urea
dengan bentuk tetesan yang besar. Berdasarkan bentuk fisiknya maka urea
dibagi menjadi dua jenis, yaitu urea prill dan urea non prill (Lingga dan
Marsono, 2002).
Phosphor (P)
Paling sedikit ada empat sumber pokok
fosfor untuk memenuhi kebutuhan akan unsur ini, yaitu pupuk buatan, pupuk
kandang, sisa-sisa tanaman termasuk pupuk hijau, dan senyawa asli unsur ini
yang organik dan anorganik, yang terdapat dalam tanah (Buckman dan Brady,
1992).
Unsur P diserap tanaman dalam bentuk
ortofosfat primer, H2PO4. menyusul kemudian dalam HPO42-.
Species ion yang merajai tergantung dari PH sistem tanah-pupuk-tanaman, yang
mempunyai ketersediaan tinggi pada pH 5,5-7. kepekatan H2PO4 yang tinggi dalam larutan tanah
memungkinkan tanaman mengangkutnya dalam takaran besar karena perakaran tanaman
diperkirakan mempunyai 10 kali penyerapan tanaman untuk H2PO4 dibanding untuk
HPO42-(Poerwowidodo, 1992).
Bentuk P yang lain yang dapat diserap
tanaman adalah pirofosfat dan metafosfat. Kedua bentuk ini misalnya terdapat
dalam bentuk pupuk P dan K metafosfat. Tanaman juga menyerap P dalam bentuk
fosfat organik, yaitu asam nukleat dan phytin. Kedua bentuk senyawa ini
terbentuk melalui proses degradasi dan dekomposisi bahan organik yang langsung
dapat diserap oleh tanaman (Hakim, dkk.,1986).
Ketersediaan phospor di dalam tanah
ditentukan oleh banyak faktor, tetapi yang paling penting adalah pH tanah. Pada
tanah ber-pH rendah (masam), phospor akan bereaksi dengan ion besi (Fe)
dan aluminium (Al). reaksi ini akan membentuk besi fosfat atau aluminium fosfat
yang sukar larut di dalam air sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman. Pada
tanah ber-pH tinggi (basa), phospor akan bereaksi dengan ion kalsium.
Reaksi ini membentuk kalsium fosfat yang sifatnya sukar larut dan tidak dapat
digunakan oleh tanaman. Dengan demikian, tanpa memperhatikan pH tanah,
pemupukan phospor tidak akan berpengaruh bagi pertumbuhan tanaman (Novizan,
2002).
Menurut Buckman dan Brady (1992),
bahwa fosfor dapat berpengaruh menguntungkan pada pembelahan sel dan
pembentukan lemak serta albumin, pembungaan dan pembuahan, termasuk proses
pembentukan biji, perkembangan akar, khususnya akar lateral dan akar halus
berserabut, kekuatan batang, dan kekebalan tanaman terhadap penyakit tertentu.
Gejala kekurangan P pada tanaman
jagung dapat menjadikan pertumbuhan terhambat (kerdil), daun-daun/malai menjadi
ungu atau coklat mulai dari ujung daun, dan juga pada jagung akan menyebabkan
tongkol jagung menjadi tidak sempurna dan kecil-kecil (Hardjowigeno, 1993)
Kalium (K)
Menurut Buckman dan Brady (1992),
berbagai bentuk kalium dalam tanah digolongkan atas dasar ketersediaannya
menjadi 3 golongan besar yaitu bentuk relatif tidak tersedia, mudah tersedia,
dan lambat tersedia. Senyawa yang mengandung sebagian besar bentuk kalium ini
adalah feldspat dan mika, lebih lanjut dijelaskan oleh Mulyani (1999),
bahwa sumber-sumber kalium adalah beberapa jenis mineral, sisa-sisa tanaman dan
jasad renik, air irigasi serta larutan dalam tanah, dan pupuk buatan.
Unsur ini diserap tanaman dalam bentuk
ion K+ dan dapat
dijumpai di dalam tanah dalam jumlah yang bervariasi, namun jumlahnya dalam
keadaan tersedia bagi tanaman biasanya kecil. Kalium ditambahkan ke dalam tanah
dalam bentuk garam-garam mudah larut seperti KC1, K2SO4,
KNO3, dan K-Mg-SO4. Mekanisme penyerapan K mencakup aliran massa,
konveksi, difusi, dan serapan langsung dari permukaan zarah tanah
(Poerwowidodo, 1992).
Di dalam tanah, ion K bersifat sangat
dinamis dan juga mudah tercuci pada tanah berpasir dan tanah dengan pH yang
rendah. Sekitar 1-10% terjebak dalam koloid tanah karena kaliumnya bermuatan
positif. Bagi tanaman, ketersediaan kalium pada posisi ini agak lambat.
Kandungan kalium sangat tergantung dari jenis mineral pembentuk tanah dan
kondisi cuaca setempat. Persediaan kalium di dalam tanah dapat berkurang oleh
tiga hal, yaitu pengambilan kalium oleh tanaman, pencucian kalium oleh air, dan
erosi tanah (Novizan, 2002).
Menurut Hakim, dkk (1986), bahwa
peranan kalium secara fisiologis adalah metabolisme karbohidrat, yakni
pembentukan pemecahan, dan translokasi pati, metabolisme nitrogen dan sintesis
protein, mengawasi dan mengatur kegiatan berbagai unsur mineral, netralisasi
asam-asam organik penting secara fisiologis, mengaktifkan berbagai enzim,
mempercepat proses pertumbuhan jaringan meristematik, mengatur pergerakan
stomata dan hal-hal yang berhubungan dengan air.
Defisiensi kalium agak sulit diketahui
gejalanya, karena gejala ini jarang ditampakkan ketika tanaman masih muda
(Mulyani, 1999). Pada tanaman jagung, gejalanya daun terlihakaput lebih tua,
muncul warna kuning pada pinggir dan di ujung daun yang akhirnya mengering dan
rontok. Daun mengerut (Keriting) dimulai dari daun tua. Pada buah, ukuran
tongkol menjadi lebih kecil, warna buah tidak merata dan biji buah menjadi
kisut (Novizan, 2002)
Tabel 1. Rata–rata
laju pertumbuhan relatif (g.g-1.hari-1) tanaman kedelai
akibat adanya interaksi perlakuan waktu pemberian dan dosis pupuk kalium
Umur
pengamatan
|
Waktu
aplikasi
|
Dosis
pupuk Kalium (KCl)
|
||
Pupuk
Kalium
|
K1
|
K2
|
K3
|
|
|
W1
|
0,066
a
|
0,068
b
|
0,068
b
|
56
hst
|
W2
|
0,068
b
|
0,071
c
|
0,076
d
|
|
W3
|
0,076
d
|
0,077
e
|
0,080
f
|
BNT
5 %
|
0,000001
|
|
|
|
Keterangan: Bilangan
yang didampingi huruf yang sama pada umur pengamatan yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf α = 0,05; tn: tidak berbeda
nyata; hst: hari setelah tanam
Tabel 2. Rata–rata
indeks luas daun (%) tanaman kedelai akibat adanya interaksi perlakuan waktu
pemberian dan dosis pupuk kalium pada berbagai umur pengamatan
Umur
pengamatan
|
Waktu
aplikasi
|
Dosis
pupuk Kalium (KCl)
|
||||
Pupuk
Kalium
|
K1
|
K2
|
K3
|
|||
|
W1
|
0,28
a
|
0,31
b
|
0,32
c
|
||
28
hst
|
W2
|
0,41
d
|
0,43
e
|
0,44
f
|
||
|
W3
|
0,46
g
|
0,51
h
|
0,55
i
|
||
BNT
5 %
|
0,0001
|
|
|
|
||
|
W1
|
0,63
a
|
0,67
b
|
0,69
c
|
||
56
hst
|
W2
|
0,80
d
|
0,88
e
|
0,89
f
|
||
|
W3
|
0,91
g
|
0,95
h
|
1,05
i
|
||
BNT
5 %
|
0,0001
|
|
|
|
||
|
W1
|
0,83
a
|
0,89
b
|
0,92
c
|
||
84
hst
|
W2
|
1,04
d
|
1,14
e
|
1,17
f
|
||
|
W3
|
1,22
g
|
1,26
h
|
1,43
i
|
||
BNT
5 %
|
0,0002
|
|
|
|
||
Keterangan: Bilangan
yang didampingi huruf yang sama pada umur pengamatan yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT pada taraf α = 0,05; tn: tidak berbeda
nyata; hst: hari setelah tanam
Tabel 3. Rata–rata
jumlah polong isi per tanaman kedelai akibat adanya interaksi perlakuan waktu
pemberian dan dosis pupuk kalium
pengamatan
|
Waktu
aplikasi
|
Dosis
pupuk Kalium (KCl)
|
||
Pupuk
Kalium
|
K1
|
K2
|
K3
|
|
|
W1
|
31,67
a
|
32,33
a
|
32,67
b
|
jumlah
polong isi
|
W2
|
34
c
|
37,67
d
|
42,33
e
|
|
W3
|
45,33
f
|
50,67
g
|
53
h
|
BNT
5 %
|
0,63
|
|
|
|
Keterangan: Bilangan
yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji
BNT pada taraf α = 0,05
Tabel 4. Rata–rata
jumlah polong hampa per tanaman kedelai akibat adanya interaksi perlakuan
wWaktu pemberian dan dosis pupuk kalium
pengamatan
|
Waktu
aplikasi
|
Dosis
pupuk Kalium (KCl)
|
||
Pupuk
Kalium
|
K1
|
K2
|
K3
|
|
|
W1
|
10
g
|
9
f
|
9
f
|
jumlah
polong hampa
|
W2
|
7,67
e
|
7,67
e
|
7,33
d
|
|
W3
|
6,33
c
|
6
b
|
5,67
a
|
BNT
5 %
|
0,26
|
|
|
|
Keterangan: Bilangan
yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji
BNT pada taraf α = 0,05
Tabel 5. Rata–rata bobot biji (gram) per tanaman
kedelai akibat adanya interaksi perlakuan waktu pemberian dan dosis pupuk
kalium
Pengamatan
|
Waktu
aplikasi
|
Dosis
pupuk Kalium (KCl)
|
||
Pupuk
Kalium
|
K1
|
K2
|
K3
|
|
|
W1
|
9.6
a
|
9.8
b
|
9.8
b
|
Bobot
Biji
|
W2
|
10.1
c
|
10.1
c
|
10.4
d
|
|
W3
|
10.6
e
|
10.6
e
|
13.4
f
|
BNT
5 %
|
0,15
|
|
|
|
Keterangan: Bilangan
yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji
BNT pada taraf α = 0,05
Tabel 6. Rata–rata bobot 100 biji (gram) pada
tanaman kedelai akibat adanya interaksi perlakuan waktu pemberian dan dosis
pupuk kalium
pengamatan
|
Waktu
aplikasi
|
Dosis
pupuk Kalium (KCl)
|
||
Pupuk
Kalium
|
K1
|
K2
|
K3
|
|
|
W1
|
16
a
|
16,03 b
|
16,33
c
|
Bobot
100 biji
|
W2
|
16,47 d
|
16,77
e
|
16,9
f
|
|
W3
|
17,1
g
|
17,7
h
|
18,97
i
|
BNT
5 %
|
0,01
|
|
|
|
Keterangan: Bilangan
yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji
BNT pada taraf α = 0,05.
Pemupukan
Jumlah takaran pupuk dan saat
pemberiannya tidak sama untuk setiap lokasi, tergantung kepada tipologi
lahannya. Selain pupuk, kapur juga perlu diberikan untuk mengurangi kemasaman
tanah. Kedelai tidak dapat tumbuh baik di lahan yang sangat masam.
·
Dosis pemupukan
Biasanya untuk kedelai dosis yang dianjurkan adalah:
N :50-100 kg Urea/ha
P : 75-150 kg TSP/ha
K : 50-100 kg KCl/ha
Ditambah dengan pupuk kandang 5 ton/ha.
Biasanya untuk kedelai dosis yang dianjurkan adalah:
N :50-100 kg Urea/ha
P : 75-150 kg TSP/ha
K : 50-100 kg KCl/ha
Ditambah dengan pupuk kandang 5 ton/ha.
·
Waktu pemupukan
Pupuk
diberikan selama tiga kali yaitu pertama pada saat. Pupuk dasar ini penting
karena pada saat tanaman berumur 15-20 hari, bintil akar belum terbentuk.
Pemupukan kedua diberikan pada saat menjelang pembungaan (25 hari setelah
tanam) dan pemberian ketiga dilakukan saat pengisian biji (40-45 hari setelah
tanam). Dosis pupuk yang dibutuhkan diberikan bertahap selama tiga kali (setiap
pemupukan 1/3 dari dosis total pupuk).
·
Cara pemberian
Cara pemberian
pupuk yaitu dengan menugal atau melarik tanah. Setelah pupuk ditempatkan dalam
lubang atau larikan, kemudian ditutup dengan tanah. Dapat juga dilakukan dengan
membuat lubang dengan tugal di sebelah kanan dan kiri lubang benih sedalam 5-7
cm dengan jarak 5-7 cm dari lubang tanam. Pupuk dasar TSP,SP-36 dapat diberikan
semua dari dosis yang dianjurkan sedangkan pupuk N dan K diberikan setengah
dari dosis yang dianjurkan. Setengahnya lagi diberikan setelah tanaman berumur
20-30 hari. Ini disebabkan karena pupuk P sulit tersedia bagi tanaman.
Pemeliharaan
Dan Pemupukan Kedelai
Kedelai mulai tumbuh
kira-kira umur 5-6 hari. Dalam kenyataannya tidak semua biji yang ditanam dapat
tumbuh dengan baik, sehingga akan terlihat tidak seragam. Untuk menjaga agar
produksi tetap baik, benih kedelai yang tidak tumbuh sebaiknya segera diganti
dengan biji-biji yang baru yang telah dicampur Legin atau Nitrogen. Hal ini
perlu dilakukan apabila jumlah benih yang tidak tumbuh mencapai lebih dari 10
%. Waktu penyulaman yang terbaik adalah sore hari.
Penyiangan ke-1 pada
tanaman kedelai dilakukan pada umur 2-3 minggu. Penyiangan ke-2 dilakukan pada
saat tanaman selesai berbunga, sekitar 6 minggu setelah tanam. Penyiangan ke-2
ini dilakukan bersamaan dengan pemupukan ke-2 (pemupukan lanjutan). Penyiangan
dapat dilakukan dengan cara mengikis gulma yang tumbuh dengan tangan atau
kuret. Apabila lahannya luas, dapat juga dengan menggunakan herbisida.
Sebaiknya digunakan herbisida seperti Lasso untuk gulma berdaun sempit dengan
dosis 4 liter/ha.
Pembubunan dilakukan
dengan hati-hati dan tidak terlalu dalam agar tidak merusak perakaran tanaman.
Luka pada akar akan menjadi tempat penyakit yang berbahaya.
Dosis pupuk yang digunakan sangat tergantung pada jenis lahan dan kondisi tanah. Pada tanah subur atau tanah bekas ditanami padi dengan dosis pupuk tinggi, pemupukan tidak diperlukan. Pada tanah yang kurang subur, pemupukan dapat menaikkan hasil. Dosis pupuk secara tepat adalah sebagai berikut:
Dosis pupuk yang digunakan sangat tergantung pada jenis lahan dan kondisi tanah. Pada tanah subur atau tanah bekas ditanami padi dengan dosis pupuk tinggi, pemupukan tidak diperlukan. Pada tanah yang kurang subur, pemupukan dapat menaikkan hasil. Dosis pupuk secara tepat adalah sebagai berikut:
1.
Sawah kondisi tanah subur: pupuk Urea=50
kg/ha.
2.
Sawah kondisi tanah subur sedang: pupuk
Urea=50 kg/ha, TSP=75 kg/ha dan KCl=100 kg/ha.
3.
Sawah kondisi tanah subur rendah: pupuk Urea=100
kg/ha, TSP=75 kg/ha dan KCl=100 kg/ha.
4.
Lahan kering kondisi tanah kurang subur: pupuk
kandang=2000-5000 kg/ha; Urea=50-100 kg/ha, TSP=50-75 kg/ha dan KCl=50-75
kg/ha.
Penanaman kedelai dilakukan setelah pertanaman padi
menjelang musim kemarau dalam sistem rotasi tanaman padi-padi-kedelai. Penelitian menggunakan rancangan acak
kelompok dengan 10 perlakuan dan masing-masing diulang 3 kali. Ukuran petak perlakuan adalah 4,80 m x 5,4
m. Macam perlakuan terdiri dari
kombinasi perlakuan dosis pupuk sumber P (SP-36) dan sumber K (KCl) seperti
disajikan dalam Tabel 2. Sebagai pupuk
dasar digunakan Urea 50 kg/ha yang diberikan pada semua petak perlakuan.
Benih kedelai
varietas Wilis ditanam secara tugal (2 biji/lubang) dengan jarak tanam 40 cm x
15 cm. Pupuk Urea dan SP-36 seluruhnya diberikan pada umur 10-15 hari setelah
tanam (HST), sedangkan pupuk KCl diberikan 2 kali yaitu setengah dosis
diberikan pada umur 10-15 HST bersamaan dengan pemberian pupuk Urea dan SP-36
dan sisanya diberikan pada umur 28 HST. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara
dibenamkan dalam tanah di sekitar rumpun tanaman.
Data yang dikumpulkan
meliputi tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang per tanaman, berat biji
kering dan brangkasan kering (daun, batang, kulit polong). Data tinggi tanaman
dan jumlah cabang dikumpulkan dari pengamatan terhadap 10 tanaman contoh per
petak perlakuan sedangkan berat biji dan brangkasan dikumpulkan dari hasil
seluruh tanaman per petak. Data yang terkumpul dianalisis secara statistik
menggunakan analisis sidik ragam (Analysis
Of Variance/ANOVA) dan untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan digunakan uji beda nyata terkecil/BNT (Least Significant Different/LSD) pada
taraf 5%. Untuk analisis data secara statistik dilakukan dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak SAS Versi 5 (SAS Institute Inc. 1985).
Pemupukan P dan K masing-masing sampai dengan dosis 100 kg SP-36 dan
150 kg KCl/ha ternyata tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah
cabang, hasil biji kering dan brangkasan kering maupun indek panen. Hal ini
nampaknya disebabkan ketersediaan unsur hara P dan K di dalam tanah pada lahan
sawah yang digunakan untuk penelitian cukup tinggi (Tabel 1). Keadaan lahan sawah dengan kadar P dan K yang
cukup tinggi tersebut banyak dijumpai di sebagian besar wilayah Kabupaten
Bantul (Mulyadi et al., 2004) dan
mungkin juga daerah-daerah persawahan di wilayah lainnya dimana petani umumnya
melakukan pemupukan P dan K/jerami sisa panen dikembalikan ke lahan. Untuk itu,
penyisipan tanaman kedelai dalam sistem rotasi tanaman padi-padi-kedelai cukup
berpotensi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P dan K di lahan sawah
karena residu penggunaan pupuk dalam pertanaman padi sawah sebelumnya dapat
digunakan untuk mendukung pertumbuhan dan hasil biji kedelai dengan tingkat
hasil yang cukup tinggi. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 3 bahwa kisaran
rata-rata hasil biji kering kedelai untuk semua perlakuan pemupukan P dan K
adalah cukup tinggi, yaitu 1,64 – 1,92 ton/ha bahkan rata-rata hasil biji
kering tanpa pemupukan P dan K mencapai
1,66 ton/ha. Hasil ini masih relatif lebih tinggi daripada rata-rata hasil
kedelai di Daerah Istimewa Yogyakarta yang umumnya hanya berkisar 1,06 – 1,26
ton/ha (BPS Provinsi DIY, 2005).
Tabel
1. Sifat Tanah Fisik dan Kimia Tanah Lapisan Atas (0-20 Cm) di Lokasi
Penelitian
Sifat Fisik dan Kimia Tanah
|
Harkat
|
Tekstur
|
Lempung (Loam)
|
-
Pasir (%)
|
45
|
-
Debu (%)
|
40
|
-
Liat (%)
|
15
|
pH
H2O
|
5,8
|
pH
KCl
|
5,3
|
C organik (%)
|
1,65
|
N total (%)
|
0,14
|
C/N
|
12
|
P2O5
Potensial (mg/100 g tanah)
|
155
|
K2O Potensial (mg/100 g tanah)
|
78
|
Kation-kation dapat ditukar
|
|
-
Ca (me/100 g tanah)
|
13,35
|
-
Mg (me/100 g tanah)
|
4,94
|
-
K (me/100 g tanah)
|
1,05
|
-
Na (me/100 g tanah)
|
0,52
|
Kapasitas Tukar Kation/KTK
(me/100 g tanah)
|
18,64
|
Tabel 2. Macam Perlakuan Kombinasi Pemupukan P Dan K untuk Kedelai di
Lokasi Penelitian
No.
|
Perlakuan Dosis Pupuk (kg/ha)
|
|
SP-36
|
KCl
|
|
1
|
0
|
75
|
2
|
25
|
75
|
3
|
50
|
75
|
4
|
100
|
75
|
5
|
50
|
0
|
6
|
50
|
37,5
|
7
|
50
|
150
|
8
|
0
|
0
|
9
|
25
|
37,5
|
10
|
100
|
150
|
Tabel 3. Pengaruh
Dosis Pemupukan P dan K Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Varietas Wilis
di Lahan Sawah, Desa Sumber Agung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul.
Perlakuan dosis pupuk
|
Tinggi tanaman saat panen
|
Jumlah cabang
|
Berat biji kering
|
Berat brangkasan kering
|
Indek panen
|
|
SP-36
|
KCl
|
|||||
kg/ha
|
cm
|
batang/tan
|
ton/ha
|
ton/ha
|
(%)
|
|
0
|
75
|
37,22
a
|
2,50
ab
|
1,84
a
|
1,52
a
|
54,67
a
|
25
|
75
|
35,16
a
|
2,66
ab
|
1,92
a
|
1,62
a
|
54,22
a
|
50
|
75
|
31,80
a
|
2,66
ab
|
1,79
a
|
1,58
a
|
53,22
ab
|
100
|
75
|
36,34
a
|
2,39
b
|
1,81
a
|
1,59
a
|
53,30
ab
|
50
|
0
|
33,71
a
|
2,51
ab
|
1,59
a
|
1,41
a
|
52,66
ab
|
50
|
37,5
|
35,82
a
|
2,83
ab
|
1,76
a
|
1,51
a
|
53,91
ab
|
50
|
150
|
36,24
a
|
3,15
a
|
1,84
a
|
1,75
a
|
51,31
b
|
0
|
0
|
36,53
a
|
2,29
b
|
1,66
a
|
1,38
a
|
54,76
a
|
25
|
37,5
|
33,80
a
|
2,64
ab
|
1,76
a
|
1,48
a
|
54,23
a
|
100
|
150
|
33,42
a
|
2,13
b
|
1,64
a
|
1,40
a
|
53,94
a
|
KK
(%)
|
9,43
|
16,16
|
18,27
|
18,58
|
2,85
|
|
BNT
5%
|
5,66
|
0,72
|
0,55
|
0,49
|
2,62
|
Keterangan: Angka dalam kolom
yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.
KESIMPULAN
1.
Pemupukan P dan K sampai dengan dosis 100 kg SP-36 dan 150 kg KCl/ha pada
pertanaman kedelai setelah padi di lahan sawah yang biasa dipupuk P dan pengembalian jerami tidak meningkatkan
hasil biji kedelai. Rata-rata
hasil biji kedelai kering tanpa pemupukan P dan K cukup tinggi yaitu sekitar
1,66 ton/ha.
2.
Pengembangan budidaya kedelai setelah pertanaman padi di
lahan sawah selain merupakan alternatif untuk peningkatan produksi kedelai
dengan biaya input yang relatif rendah juga berpotensi dalam meningkatkan
efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1995.
Kedelai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
BPS Provinsi DIY. 2005. Statistik Pertanian Tanaman
Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta 2004.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DIY, Yogyakarta.
Mulyadi, I. Purwanto, A. M. Gusmida, Sunaryana, Salamhadi,
dan Budiono. 2004. Prosiding Seminar Nasional. Penerapan dan Inovasi Teknologi
dalam Agribisnis Sebagai Upaya Pemberdayaan Rumah Tangga Tani. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Yogyakarta, Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Puslittanak, 1994. Laporan
Akhir; Survai dan Pemetaan Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Pertanian Lahan
Kering dan Konservasi Hutan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Akhir
No. 03/PSDT/02.0202.01/94. Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Tanah. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittamnak), Badan Litbang Petanian, Deptan.
Sarjiman, Aliudin, dan
Suharno. 2000. Laporan Teknis Pengkajian Palawija Spesifik Lokasi di Daerah
Istimewa Yogyakarta. IPPTP Yogyakarta.
SAS Institute Inc. 1985. SAS User’s Guides: statistic, version 5
edition. Cary, NC: SAS Institute Inc.
Schlegel, H. G. and K.
Schmith. 1976. Algemeine Mikrobiologie. Edisi
Indonesia. Mikrobiologi Umum. Penerjemah Tedjo Baskoro. 1994. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and
J.D. Beaton. 1985. Soil Fetility and Fertilizers. 4th Ed.
Macmillian Publishing Company. New York.
Komentar