TINDAK PIDANA KORUPSI DANA DESA

DANA DESA



BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
            Setiap negara pasti terdapat korupsi. Korupsi paling banyak dijumpai di tingkat lokal. Menurut sebuah penelitian di Jepang, jumlah pegawai pemerintah provinsi bahkan desa ternyata tiga kali lipat jumlah pegawai pusat. Tetapi kasus korupsi yang dilaporkan lima belas kali lipat dan jumlah pejabat yang ditangkap empat kali lipat. Selain itu, Pemerintah Kota New York menderita kerugian ratusan juta dolar akibat korupsi dalampembangunan gedung-gedung sekolah.
            Begitu pula yang ada di Indonesia, korupsi berkembang mulai pemerintah pusat sampai derajat pemerintah lokal. Layaknya gurita, korupsi semakin kuat melilit dan mencengkeram sendi-sendi negeri ini. Segala upaya yang telah dilakukan untuk menahan dan memberantas pergerakan korupsi belum menunjukkan tanda-tanda kemenangan.
            Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Dalam perspektif kesisteman, desa memiliki 11 unsur yaitu desa, pemerintahan desa, musyawarah desa, peraturan desa, pembangunan (pemberdayaan) masyarakat desa, kawasan (sumber daya) desa, keuangan desa, aset desa, interaksi desa, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

1.2. Rumusan Masalah
          Bagaimana penanganan/penyelesaian kasus korupsi keuangan desa di Desa Pasir putih, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh.?

1.3. Tujuan Penulisan
            Untuk mengetahui penanganan/penyelesaian kasus korupsi keuangan desa di Desa Pasir putih, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Permasalahan dan Fakta
            Penulis tertarik untuk menulis tentang keuangan desa yang ada di Desa Pasir putih, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh. Pengertian keuangan desa menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal 1 (10) yaitu “Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.”
            Unsur keuangan desa di Desa Pasir Putih  ini memiliki permasalahan yakni permasalahan korupsi di desa seperti yang termuat dalam media berita online Lintas Aceh sebagai berikut.
            Terbukti  melakukan korupsi dana bantuan desa (fresh money) Desa Pasir putih, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh  tahun 2009 sebesar Rp 50 juta. Kepala Desa (Kades) Pasir Putih, Kecamatan Peureulak, Sanusi oleh majelis hakim pengadilan tipikor Pengadilan Negeri (PN) Aceh Timur, Kamis (10/03), divonis 1 tahun potongan masa tahanan dengan jenis tahanan kota . Dalam diang yang diketuai hakim Sumartono,dengan Jaksa Penuntut  Umum (JPU)  Jonathan, selain pidana hukuman, terdakwa yang ditahan dengan jenis tahanan kota sejak 25 Januari 2017 ini juga didenda sebesar Rp 50 juta dan jika tidak bisa membayar denda dihukum kurungan  selama 1 bulan. Akan tetapi, terdakwa tidak dibebani biaya ganti rugi oleh majelis hakim  dalam perkara itu. Dalam tuntutan JPU, terdakwa dituntut 1 tahun, denda Rp 50 juta subsider 3 bulan dan harus ditahan. Dalam amar putusannya,majelis hakim  menyatakan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan subsider sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pasal 3 jo pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hakim juga menjelaskan, karena perkara ini disusun berdasarkan dakwaan subsideritas. Maka, lanjutnya, jika salah satu unsur dalam dakwaan itu terbukti maka tidak perlu lagi membuktikan dakwaan lainnya, begitu juga selanjutnya,serta  semua unsur-unsur dalam dakwaan subsider terpenuhi. Terdakwa, kata hakim, sebagai kades Alang-alang berdasarkan SK bupati Serang diangkat sebagai ketua tim pelaksana teknis kegiatan tida bisa mempertanggungjawabkan bantuan alokasi desa tahun 2014 sebesar Rp 50 juta bantuan dari provinsi karena tidak sesuai dengan proposal pengajuan. "Terdakwa tidak menyalurkan ke lembaga karang taruna dan LPM langsung setelah dana cair, tapi disalurkan tahun 2015 setelah adanya laporan ke polisi sehingga dapat digunakan sendiri. Dengan demikian dalam selang waktu tersebut dapat dimanfaatkan terdakwa," kata Sumartono. Dikatakan, dana bantuan untuk karang taruna sebesar Rp 2,5 juta, baru diserahkan Rp 500 ribu pada 2014. Dana sebesar Rp 2 juta sisanya baru diberikan setelah diperiksa polisi. "Sisa bantuan ke LPM juga baru diserahkan Desember 2015," katanya. Selain itu, kata Sumartono, dalam semenisasi jalan lingkungan terdakwa juga memborongkan kepada seseorang, sehingga pengerjaannya tidak profesional karena hanya memperkirakan jarak tiang listrik sebagai acuannya. "Padahal setelah dihitung jaraknya hanya 210 meter, seharusnya 270 meter. Jadi ada kekurangan 60 meter. Kemudian terdakwa setelah diperiksa polisi ditambah sehingga panjang semenisasi itu bertambah 80 meter sehingga menjadi 290 meter," jelasnya seraya mengungkapkan bahwa bukti kuitansi pembelian material dalam proyek itu juga palsu.

2.2. Teorisasi tentang Korupsi
            Pada dasarnya tidak ada definisi tunggal tentang korupsi. Korupsi bisa berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan. Korupsi bisa berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi bisa mencakup kegiatan yang sah dan tidak sah. Korupsi dapat terjadi di dalam tubuh organisasi, misalnya, penggelapan uang atau di luar organisasi, misalnya, pemerasan.
            Korupsi kadang-kadang membawa dampak positif di bidang sosial, tetapi korupsi menimbulkan inefisiensi, ketidakadilan, dan ketimpangan. Korupsi ada yang dilakukan secara freelance artinya pejabat secara sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk meminta suap. Namun korupsi bisa mewabah dan tersusun secara sistematis. Menurut Luis Moreno Ocampo bahwa korupsiyang tidak menghiraukan aturan main sama sekali ini disebut hypercorruption. Sedangkan Herbert Werlin menyebutnya sebagai  secondary corruption, yang dibandingkannya dengan kecanduan minuman keras.
            Korupsi yang sudah memasuki stadium hypercorruption membawa implikasi berbahaya. Korupsi inilah yang biasanya ditemui dalam lingkup pemerintahan daerah (desa) di berbagai negara. Korupsi sistematis menimbulkan kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif; kerugian politik karena meremehkan lembaga-lembaga pemerintahan; kerugian sosial karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Apabila korupsi telah berkembang secara mengakar sedemikian rupa sehingga hak milik tidak lagi dihormati, aturan hukum dianggap remeh, dan insentif untuk investasi kacau, maka akibatnya pembangunan ekonomi dan politikan mengalami kemandegan.

Adapun modus-modus terjadinya korupsi di tingkat desa antara lain:
1.      Pengurangan alokasi Alokasi Dana Desa (ADD), misalnya, dana ADD dijadikan “kue” pegawai desa untuk kepentingan pribadi.
2.      Pemotongan alokasi Bantuan Langsung Tunai (BLT), misalnya, pemotongan tersebut karena azas pemerataan, keadilan untuk didistribusikan keluarga miskin yang tidak terdaftar. Namun yang jamak terjadi bahwa pemotongan BLT lebih banyak disalahgunakanpengurusnya di tingkat desa.
3.      Pengurangan jatah beras untuk rakyat miskin (raskin), misalnya, pemotongan  1-2 kg per Kepala Keluarga (KK). Apabila dikalkulasikan maka akan menghasilkan jumlah yang besar yang kemudian hasilnya dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri.
4.      Penjualan Tanah Kas Desa (Bengkok)16.
5.      Penyewaan Tanah Kas Desa (TKD) yang bukan haknya, misalnya, TKD untuk perumahan.
6.      Pungutan liar suatu program padahal program tersebut seharusnya gratis, misalnya, sertifikasi (pemutihan) tanah, Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP).
7.      Memalsukan proposal bantuan sosial, misalnya, menyelewengkan bantuan sapi.

2.3. Daya Rusak Korupsi
            Kerusakan mental dimulai dari mengambil atau mencuri sesuatu (uang) yang bukan miliknya
            Bagi negara berkembang, korupsi menjadi penghambat yang serius. Pelbagai sektor pembangunan akan terganggu bahkan lumpuh. Menurut Gunnar Myrdal menjelaskan bahwa daya rusak korupsi sebagai berikut:
1.      Korupsi menciptakan dan memperbesar masalah-masalah yang disebabkan oleh berkurangnya hasrat untuk terjun ke sektor usaha dan pasar nasional yang mengalami kelesuan.
2.      Permasalahan masyarakat yang majemuk semakin dipertajam oleh korupsi dan bersamaan dengan itu kesatuan negara juga melemah. Martabat pemerintah menurun maka korupsi juga bertendensi turut membahayakan stabilitas politik.
3.      Adanya kesenjangan di antara para pejabat untuk menerima suap dan menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) yang mereka miliki, maka disiplin sosial menjadi kendur sementara efisiensi akan merosot. Implementasi rencana-rencana pembangunan yang telah dirumuskan akan dipersulit dan diperlambat karena alasan-alasan yang sama. Korupsi dalam hal ini sama sekali tidak berfungsi sebagai semir atau pelicin bagi proses pembangunan. Justru sebaliknya, korupsi dapat menjadi penghambat (bottleneck) bagi proses pembangunan yang direncanakan.

2.4. Komentar Dan Analisis
            Dari data di atas, bisa kita analisis bahwa keuangan di desa rawan dengan praktik korupsi. Dan yang lebih parah, praktik ini dilakukan oleh aparatur desa. Aparatur desa merupakan salah satu bagian terpenting dari desa yang seharusnya memajukan masyarakatnya melalui pembangunan dan pemberdayaan, akan tetapi karena keuangan desa maka memunculkan potensi bagi mereka untuk melakukan korupsi di desa.  
            Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka potensi korupsi menjadi semakin besar seiring dengan transfer anggaran kurang lebih 1 Milyar ke desa. Diperkirakan tahun 2014 ini total transfer ke desa mencapai sekitar Rp 59 triliun.   
            Melihat fakta ini, kita bisa membayangkan seberapa besar potensi korupsi yang akan terjadi di desa. Berangkat dari hal ini, maka solusi yang bisa penulis berikan adalah sebagai berikut.
·        Pemerintah harus mempunyai konsep dan desain transfer dana ke desa.
·        Memperbanyak sosialisasi kepada aparatur desa dan masyarakat tentang pengelolaan dana.
·        Meningkatkan pengawasan untuk mencegah potensi korupsi di desa.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
            Unsur keuangan desa di Desa Desa Pasir putih, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh menimbulkan potensi korupsi. Hal ini terbukti dengan tertangkapnya Sanusi, Kepala Desa Pasir putih, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh. Seiring dengan berlakunya UU Nomor 6 Tahun 2014 dengan transfer dana 1 milyar ke masing-masing desa menambah rumit permasalahan dan memperluas potensi korupsi di desa.

3.2. Saran
            Solusi yang bisa dilakukan adalah pemerintah harus mempunyai konsep dan desain transfer dana ke desa, memperbanyak sosialisasi kepada aparatur desa dan masyarakat tentang pengelolaan dana.  dan lebih meningkatkan pengawasan untuk mencegah potensi korupsi di desa.



DAFTAR PUSTAKA

Widjaja, Otonomi Desa. Jakarta; PT Grafindo Persada.2012.
Dwiyanto, Agus, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik,  Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.
Media Berita Online Lintas Aceh.
https://www.facebook.com/notes/Lintas-Aceh-news/terbukti-korupsi-dana-bantuan desa-kades-peukanbiluy-divonis-1-tahun-tahanan-kota.html


0 Response to "TINDAK PIDANA KORUPSI DANA DESA"